Anak-anak Paling Rentan jadi Perokok Pasif Sejak Pandemi Covid-19, Menkes Harus Bertindak
Lisda juga menegaskan, kondisi anak sangat rentan karena paparan iklan rokok yang begitu massif di media sosial.
Sedangkan di sisi lain regulasi untuk melindungi anak sangat lemah. Sebagaimana penanganan Covid-19 yang memerlukan regulasi dan kebijakan komprehensif, upaya penurunan jumlah perokok anak juga sangat membutuhkan regulasi yang kuat dan tegas.
Indonesia sudah memiliki PP 109/2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Produk Tembakau Bagi Kesehatan, namun implementasi PP 109/2012 terbukti gagal melindungi anak dari rokok dan menurunkan prevalensi perokok anak.
Karena IPS rokok masih dibolehkan serta akses rokok sangat mudah karena murah dan dapat dibeli di mana-mana. Karena itulah revisi PP 109/2012 menjadi sangat penting untuk melindungi anak Indonesia dari adiksi rokok dan mencapai target penurunan prevalensi perokok anak seperti yang diamanahkan RPJMN 2020-2024.
Proses revisi PP 109/2012 seharusnya dilakukan pada 2018 lalu atau sesuai Keppres No. 9/2018. Tapi faktanya, penyelesaian revisi PP 109/2012 yang menjadi tanggung jawab Kemenkes RI justru terkesan melambat.
Tertundanya proses revisi PP 109/2012 selama lebih dari dua tahun menjadikan para pegiat pengendalian tembakau yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Peduli Kesehatan (KOMPAK) kecewa.
Itu sebabnya, KOMPAK melayangkan Surat Peringatan Somasi kesatu kepada Kemenkes RI pada 12 November 2020 yang isinya mendesak Kemenkes RI melakukan tugasnya menyelesaikan revisi PP109/2012.
KOMPAK ini diwakili Tulus Abadi, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI); Lisda Sundari, Ketua Yayasan Lentera Anak (YLA); Shoim Sahriyati, S.T, Ketua Yayasan Kepedulian Untuk Anak Surakarta (Yayasan Kakak); OK. Syahputra Harianda, Ketua Badan Pengurus Yayasan Pusaka Indonesia dan Arist Merdeka Sirait, Ketua Komnas Perlindungan Anak.