Anwar Ujang, Kapten Timnas Era 70-an yang Terlupakan
Pele Memuji: Nomor Lima Pemain TerbaikItu terbukti, misalnya, dia hampir tidak pernah diundang bila PSSI ulang tahun. Padahal, juniornya seperti Sutan Harhara pernah dilihatnya mendapatkan penghargaan dan dipercaya PSSI. Bukan cuma diingat dan terus dilibatkan, tapi juga dihargai dengan mendapatkan pensiun sebagai mantan atlet timnas seumur hidup.
”Kadang saya iri dan merasa kok tidak dihargai, ya. Tapi, saya nggak mau menuntut. Kayaknya PSSI ataupun pemerintah kurang tertib dalam administrasi. Mungkin tidak punya berkas lengkap sehingga saya terlupakan,” tutur lelaki kelahiran 2 Maret 1945 tersebut.
Dengan pandangan nanar, dia menceritakan bagaimana dirinya saat masih aktif pernah bermain melawan Pele, legenda sepak bola dunia asal Brasil. Meski kalah 3-2 melawan Santos, klub Pele, Ujang sempat mendapat pujian dari sang maestro itu.
”Pemain nomor 5 pemain terbaik,” kata Ujang menirukan pujian Pele dan ulasan-ulasan di media pada 1972.
Saat itu menjadi pemain timnas sangatlah sulit. Seleksinya tak mudah. Tapi, bila bisa lolos seleksi, bangganya luar biasa. Apalagi menjadi kapten timnas menggantikan Soetjipto Soentoro, seniornya.
”Tidak mudah menjadi kapten timnas. Pertimbangan untuk menentukan sang kapten pun cukup lama. Pokoknya, jadi kapten timnas dulu dan sekarang berbeda. Dulu rasanya sakral sekali,” tutur pemain yang memegang kapten timnas sejak 1970 sampai 1974 itu.
Namun, rasa bangga, totalitas, dan usaha kerasnya di timnas sekarang seperti terlupakan. Padahal, Ujang sejatinya masih ingin berkecimpung di sepak bola dan turut membantu pembinanaan sepak bola usia dini di Indonesia.
Terbukti, pascapensiun pada awal 2000, dia sempat melatih anak-anak di Medan, tempat tinggalnya selama bekerja di sana. Pada 2010, dia memilih pulang ke kampung halaman di Cikampek dan mendirikan Sekolah Sepak Bola (SSB) Anwar Ujang.