Perbandingan Aturan Istirahat dan Cuti di RUU Cipta Kerja dengan UU Ketenagakerjaan
jpnn.com, JAKARTA - DPR dan pemerintah telah menyetujui Omnibus Law Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja menjadi undang-undang pada Senin lalu (5/10).
Omnibus Law RUU Cipta Kerja juga mengatur ketentuan waktu istirahat dan cuti bagi pekerja, yang sebelumnya sudah diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Dikutip dari naskah RUU Cipta Kerja, Pasal 79 Ayat 1 mengatur kewajiban pengusaha untuk memberikan waktu istirahat dan cuti bagi pekerja.
Pada Ayat 2 menjelaskan bahwa waktu istirahat sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 huruf a wajib diberikan kepada pekerja/buruh paling sedikit meliputi:
a. Istirahat antara jam kerja, paling sedikit setengah jam setelah bekerja selama empat jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja; dan
b. Istirahat mingguan satu hari untuk enam hari kerja dalam satu minggu.
Ayat 3 menyatakan cuti sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 huruf b yang wajib diberikan kepada pekerja/buruh yaitu cuti tahunan, paling sedikit dua belas hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama dua belas bulan secara terus menerus.
Selanjutnya di dalam Ayat 4 mengatur bahwa pelaksanaan cuti tahunan sebagaimana dimaksud pada Ayat 3 diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Pada Ayat 5 dinyatakan, selain waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud pada Ayat 1, 2 dan 3, perusahaan tertentu dapat memberikan istirahat panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Bila merujuk UU Ketenagakerjaan, Pasal 79 Ayat 1 menyatakan pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti kepada pekerja/buruh.