Close Banner Apps JPNN.com
JPNN.com App
Aplikasi Berita Terbaru dan Terpopuler
Dapatkan di Play Store atau Apps Store
Download Apps JPNN.com

Benarkah Faktor Emosi Bisa Picu Obesitas?

Senin, 14 Januari 2019 – 16:07 WIB
Benarkah Faktor Emosi Bisa Picu Obesitas? - JPNN.COM
Penderita obesitas. Foto/ilustrasi: Daily Telegraph

jpnn.com - Saat obesitas terjadi, anggapan umum penyebabnya adalah karena jumlah kalori yang masuk lebih banyak daripada kalori yang keluar. Kondisi biasanya terjadi akibat  makan terlalu banyak, jarang berolahraga, atau faktor keturunan. Tak salah memang. Namun, nyatanya faktor lain seperti emosi juga bisa picu obesitas.

Menurut American Psychological Association, kondisi emosi seseorang bisa berpengaruh terhadap berat badan, yang pada akhirnya bisa sebabkan obesitas. Meski demikian, kaitan antara keduanya tidak bersifat satu arah, tetapi dua arah.

Jelasnya begini, jika kondisi emosi seseorang tidak stabil, maka kondisi ini dapat berujung pada kelebihan berat badan, dan pada orang yang obesitas ini juga bisa memicu timbulnya gangguan kesehatan mental. Kondisi seseorang yang makan berlandaskan emosi (emotional eating atau stress eating), umumnya bukan karena ia merasa lapar.

“Mungkin mengonsumsi makanan akan membuat seseorang merasa nyaman. Namun, rasa bosan, sedih, atau kesal yang memicu seseorang untuk makan tetap belum hilang. Akibatnya, orang tersebut justru akan merasa lebih buruk dari sebelumnya, akibat kalori berlebih yang baru saja dikonsumsi,” kata dr. Nabila Viera Yovita dari KlikDokter.

Nafsu makan emosional ini bisa dipicu oleh perasaan bosan, cemas, frustasi dan tertekan, kesepian, serta marah. Saat Anda mengiyakan nafsu makan palsu itu dan mengambil sejumlah camilan, minuman manis, hingga makanan dalam porsi besar, Anda akan merasa bahwa makanan tersebut berfungsi sebagai penghibur atau penyelesaian masalah sementara.

Kondisi tersebut dapat menyebabkan ketergantungan. Sehingga, saat ada masalah sedikit saja, Anda langsung mencari makanan untuk “mengobati” rasa tidak nyaman pada perasaan Anda. Kalau itu terus-menerus dilakukan, bukan tak mungkin berat badan Anda cenderung bertambah, tapi bisa berakhir pada obesitas. 

Emosi positif dan negatif sama-sama bisa sebabkan emotional eating

Beberapa waktu belakangan, seorang wanita asal Kalimantan Tengah, Titi Wati (37) menuai perhatian publik karena berat badannya yang mencapai 350 kg (yang setelah diperiksa dokter di rumah sakit ternyata beratnya “hanya” 220 kg). Titi mengaku kepada media bahwa obesitas yang dideritanya ini diakibatkan karena kegemarannya ngemil termasuk makan gorengan. Meski demikian, tidak diketahui secara pasti apakah kegemarannya tersebut diakibatkan emotional eating.

Michele Bartels, MSW, LCSW, seorang psikoterapis di Colorado Springs, Amerika Serikat mengatakan kepada Clinic Advisor, bahwa ia memiliki pasien wanita gemuk yang ternyata memiliki riwayat trauma seksual pada masa kecilnya. “Akhirnya mereka memercayai bahwa berat badan seperti itu bisa melindungi dari gangguan orang lain,” tambahnya.

Bila otak Anda telah terbiasa dengan banyaknya makanan yang dikonsumsi, sebagai seorang emotional eater, Anda akan sulit untuk merasa puas dengan makanan.

Sumber klikdokter

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

X Close