Benarkah Faktor Emosi Bisa Picu Obesitas?
Ketidakstabilan emosi bukan cuma soal emosi negatif saja, tetapi juga emosi yang positif. Hal itu dibuktikan oleh orang yang sangat bahagia terhadap hubungannya.
Dilansir dari Healthline, pasangan yang amat bahagia terhadap hubungannya memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami peningkatan berat badan ketimbang pasangan yang biasa-biasa saja ataupun pasangan yang tidak bahagia.
Saat seseorang sudah terlalu bahagia dan merasa “aman” dengan hubungannya, mereka kehilangan minat untuk menjaga berat badan ideal. Ini karena mereka berpikir bahwa mereka tidak butuh lagi penampilan menarik untuk mencari perhatian orang lain (karena sudah berpasangan).
Selain itu, kebiasaan antar pasangan pun bersifat menular. Ketika salah satunya hobi makan makanan tinggi lemak dan malas berolahraga, pasti pasangan yang kepribadiannya tidak dominan akan terbawa.
Hal-hal yang bisa diakibatkan oleh emotional eating
Jika Anda memiliki kebiasaan emotional eating, sudah saatnya Anda melakukan perubahan. Jika tidak, kebiasaan makan untuk “melarikan diri” ini bisa mengakibatkan:
1. Perasaan bersalah. Setelah rasa sedih atau bosan berlalu, akan ada perasaan bersalah walaupun hanya sedikit, setelah menyadari bahwa konsumsi makanan yang dilakukan terlalu berlebihan. Perasaan bersalah ini berpotensi menurunkan rasa percaya diri, stres, hingga depresi.
2. Mual. Mereka yang cenderung makan ketika merasa stres atau cemas akan merasa nyaman setelah mengonsumsi makanan. Hal ini sering kali berujung pada makan berlebih, sehingga menimbulkan sakit perut atau mual akibat terlalu banyak makanan yang masuk.
3. Munculnya gangguan kesehatan yang berkaitan dengan berat badan. Emotional eating secara berulang dapat menyebabkan banyak masalah kesehatan yang berkaitan dengan berat badan. Diabetes, tekanan darah tinggi, lelah berlebihan, merupakan sedikit dari contoh akibat makan berlebih yang Anda lakukan.