Bromocorah
Oleh: Dhimam Abror DjuraidBahasa Indonesia sudah menyediakan istilah yang cukup halus untuk menggambarkan para pelaku kejahatan yang dipenjara. Mereka disebut sebagai ‘’narapidana’’, yaitu orang yang sedang menjalani hukuman karena tindak pidana.
Kalau mau memberi efek jera kepada pelaku kejahatan luar biasa seperti korupsi, istilah yang ditempelkan kepada mereka seharusnya diperberat, bukan malah dihaluskan. Kalau maling ayam dan jambret HP disebut sebagai ‘’narapidana’’, maka koruptor penggarong uang rakyat disebut sebagai ‘’maha-narapidana’’.
Sekadar analogi, siswa dipakai untuk menyebut pelajar di tingkat bawah dan menengah. Untuk pelajar di tingkat tinggi disebut mahasiswa. Narapidana adalah sebutan untuk kriminal kelas bawah dan menengah. Untuk pencuri level dewa harus disebut sebagai ‘’maha-narapidana’’.
Dalam dunia kedokteran, penyakit yang dialami seseorang berulang kali disebut sebagai penyakit kambuhan. Di dunia kriminal, para pelaku kriminal, yang melakukan tindak pidana berulangkali, disebut sebagai penjahat kambuhan atau residivis.
Publik menjulukinya dengan sebutan bromocorah (bramacorah) yang lebih sangar.
Kalau koruptor penyintas korupsi dijadikan tim penyuluh untuk sosialisasi anti-korupsi, nanti para jambret senior, para pakar maling ayam, dan para jago begal, juga akan diangkat menjadi penyuluh sosialisasi antijambret, antimaling, dan antibegal. Para penyintas perkosaan juga akan menjadi penyuluh sosialisasi anti-pemerkosaan.
Karena mendapat protes keras dari masyarakat, KPK buru-buru melakukan klarifikasi dan mengakui bahwa pemakaian istilah penyintas tidak tepat. KPK minta kontroversi diakhiri. Mengakhiri polemik tentu mudah.
Namun, persoalannya bukan sekadar mengakhiri polemik atau mengakhiri kontroversi. Yang menjadi persoalan adalah perubahan mindset KPK dalam melihat tindak pidana korupsi.