Budaya Agraris: Poros Maritim Dunia?
Dr. Ma’ruf Cahyono, S.H., M.H The Cahyono InstituteKesuksesan Presiden Soeharto dalam berswasembada pangan pada masa itu menebalkan sebutan Indonesia sebagai negara agraris sebab bangsa ini mayoritas penduduknya adalah masyarakat yang bekerja di sektor pertanian.
Untuk mempertahankan swasembada pangan yang pernah dicapai pada 1984, hal demikian bukan sesuatu yang mudah. Banyak tantangan di depan yang perlu dilalui. Selain mulai adanya perubahan sudut pandang terhadap sektor ini, tantangan yang lain adalah peralihan lahan.
Semakin bertambahnya penduduk membuat puluhan hingga ratusan hektare sawah dari waktu ke waktu semakin menyusut. Hal demikian akibat dari pengembangan perumahan, jalan, fasilitas umum, dan keperluan infrastruktur lainnya. Ada catatan, dalam setahun terjadi peralihan lahan sawah mencapai 100 ribu hektare.
Hingga saat ini hal yang demikian pun masih terjadi. Kita lihat saja di dekat Jakarta, seperti Bekasi, Tangerang, Depok, Bogor, Karawang, lahan-lahan sawah yang dulu membentang sekarang menjadi perumahan masyarakat dengan berbagai kelas dan harga.
Tantangan dari sektor pertanian tak hanya itu, terlambatnya modernisasi pada sektor ini membuat kesan bekerja di sawah merupakan pekerjaan yang berat, kasar, kotor, sehingga tidak menimbulkan gengsi. Kondisi yang demikian membuat generasi muda enggan untuk terjun ke
sawah melanjutkan warisan orangtuanya sehingga yang terjadi saat ini adalah petani mayoritas adalah orang tua. Bila hal demikian terus terjadi membuat terputusnya rantai regenerasi petani.
Bisa dibayangkan apabila kelak bangsa ini tidak memiliki petani. Menjaga dan mengawal sektor pertanian memang terus dilakukan dan dijaga oleh pemerintah agar kecukupan pangan bisa disediakan dari dalam negeri.
Kebijakan dan hasil dari sektor ini memang naik dan turun meski lebih banyaknya turunnya. Bangsa ini kembali mampu swasembada pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, meski sebelum dan sesudahnya juga mengalami masa naik turun dan saat ini lebih sering mendengar kita kerap lebih memilih impor beras daripada upaya untuk menggenjot peningkatan produksi dalam negeri.
Nah, pada masa Presiden Joko Widodo, dirinya pasti masih ingin menjaga dan meningkatkan produksi padi dalam negeri sebab mampu meningkatkan produksi padi menunjukan ia pro rakyat dan pro petani. Ini merupakan point tertinggi di dalam dunia politik.