Center for Budget Analysis akan Gugat Erick Thohir
Beberapa waktu lalu, Direksi Pertamina melakukan perubahan Stuktur Organisasi Dasar Pertamina (Persero) yang dipecah-pecah menjadi enam subholding. Beberapa di antara enam subholding tersebut rencananya akan diswastanisasi dengan menjual sahamnya kepada investor swasta domestik maupun asing.
Spin off atau pemisahaan sejumlah lini bisnis utama Pertamina di atas menjadi Subholding disinyalir kuat untuk menyiasati Undang-Undang Dasar 1945 dan UU BUMN yang melarang Pertamina (Persero) diprivatisasi atau swastanisasi.
Pertamina mendapat keistimewaan tunjuk langsung itu karena 100% milik negara, tidak mungkin perusahaan yang ditunjuk mengoperasikan ladang minyak itu mau dijual ke bursa. Jika itu terjadi, maka perusahaan menjadi full swasta.
Untuk melakukan IPO, memang tidak tidak ada aturan yang melarang atau membatasi Subholding yang bergerak di bidang hulu dan hilir migas.
Pertamina mendapat keistimewaan itu karena 100% sahamnya milik negara, karena Pertamina mengelola keayaan alam Negara dan secara langsung maka Pertamina mendapat mandate dari UUD 1945.
Sehingga konsekuensi seterusnya ya secara keseluruhan asset pertamina harus tetap milik Negara, bukan hanya Pertamina saja tetapi subholding maupun anak perusahaan subholding yang ditunjuk Pertamina mengelola wilayah kerja hulu migas, sehingga hasil tunjuk langsung itu harus tetap 100 % milik negara / milik Pertamina.
Jika Undang-undangnya tidak mengatur IPO dan pembatasan subholding, bukan berarti Pertamina boleh melakukan IPO atau subholding seenaknya, melainkan Undang-Undangnya yang harus mengikuti UUD 1945, bahkan seharusnya UU nya yang harus dirubah, atau dibatalkan demi hukum.
“Ini kan logika dasar hukum kita, masa iya sekelas pertamina yang sudah menyewa konsultan public amerika, urusan seperti ini tidak faham,” ujarnya.