COP 26 Glasgow Membahas Potensi Unik Pertanian Demi Atasi Perubahan Iklim
Bagaimana implikasi dari semua itu bagi Indonesia? Dirjen Laksmi Dhewanti mengatakan kesepakatan SBSTA dan SBI pada COP26 ini, yang meliputi pentingnya perbaikan pengelolaan tanah dan hara, pengelolaan peternakan dan kesehatan ternak, dimensi sosial ekonomi dan ketahanan pangan, dan penguatan kebijakan penanganan perubahan iklim, sangat relevan untuk pertanian Indonesia.
“Sebagian dari aksi serta kebijakan tersebut sudah ada di sektor pertanian Indonesia, namun ambisi di bidang penanganan perubahan iklim sektor pertanian perlu ditingkatkan karena sangat penting untuk meningkatkan ketangguhan sistem pertanian dan ketahanan pangan Indonesia,” ungkap Laksmi.
Oleh karena itu, lanjut Laksmi, dukungan internasional dipelukan untuk meningkatkan ambisi tersebut untuk meningkatkan keberhasilan pada skala yang lebih besar.
Sistem Produksi Pangan Berkelanjutan
Laksmi Dhewanthi menjelaskan pada meeting SBI dan SBSTA sesi 52-55, melalui keputusannya, SBSTA dan SBI mengenali (recognize) bahwa:
Pertama, tentang soil and nutrient management practices, yang arahnya adalah terciptanya climate-resilient, sustainable food production systems, peningkatan produksi pangan, serta penurunan emisi GRK sebagai cobenefits.
Praktik pengelolaan tanah dan unsur hara serta penggunaan unsur hara secara optimal, termasuk pupuk organik dan pengelolaan pupuk kandang yang ditingkatkan merupakan inti dari sistem produksi pangan berkelanjutan yang tahan terhadap iklim dan dapat berkontribusi pada ketahanan pangan global.
Kedua, tentang perbaikan pengelolaan ternak secara berkelanjutan guna mengurangi dampak perubahan iklim dan sebisa mungkin menurunkan emisi GRK.