Cuti 10 Hari untuk Korban KDRT, Apa Untungnya?
jpnn.com - Perjuangan Jan Logie tak sia-sia. Setelah tujuh tahun, legislator Green Party of Aotearoa New Zealand itu berhasil mengegolkan RUU Perlindungan Korban Kekerasan Domestik. Kamis (26/7) regulasi yang digagas Logie tersebut mendapat dukungan 63 suara di parlemen.
”Aturan itu adalah yang pertama di dunia. Aturan tersebut bakal menghadirkan perbedaan signifikan bagi orang-orang yang mencoba melarikan diri dari kekerasan domestik,” tegas Logie seperti dilansir The Independent.
Pemerintah Selandia Baru akan segera meratifikasi RUU yang telah lolos di parlemen tersebut. Rencananya aturan baru itu berlaku mulai 1 April mendatang. Berdasar regulasi tersebut, para pekerja yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) bisa mengambil cuti sepuluh hari. Dan, perusahaan tidak berhak memotong gaji pekerja yang sedang cuti karena menjadi korban KDRT.
Selain itu, para pekerja yang mengasuh anak korban KDRT boleh mengambil cuti. Jatah cuti sepuluh hari itu tidak harus langsung diambil semua, tapi bisa bertahap. Dan, cuti sepuluh hari itu tidak akan mengurangi hak cuti tahunan dan izin sakit.
Logie menjelaskan bahwa dengan cuti itu, korban bisa memiliki waktu untuk pindah rumah, mengurusi kepindahan anaknya ke sekolah yang baru, dan menghadiri sidang di pengadilan. Yang menarik, untuk mendapatkan cuti tersebut, korban tak harus menunjukkan bukti apa pun kepada perusahaan bahwa mereka korban KDRT.
Nanti aturan itu juga membuat pelaku tak bisa mengganggu korban di tempat kerja. Sebab, perusahaan berhak melindungi mereka. Termasuk, memindahkan korban ke kantor yang lain, mengubah alamat surelnya, dan menghapus detail kontaknya dari website perusahaan. Dengan begitu, pelaku kekerasan tak bisa meneror lagi.
Sebagian legislator dari New Zealand National Party awalnya mendukung. Tapi, di akhir, seluruh legislator dari partai oposisi tersebut menolak. Mereka beralasan bahwa itu akan memberatkan usaha kecil dan menengah karena biaya yang ditanggung terlalu besar.
Sebaliknya, aturan itu disambut baik oleh para aktivis anti kekerasan terhadap perempuan. Sebab, di antara negara-negara maju lainnya di dunia, Selandia Baru termasuk salah satu yang memiliki angka kekerasan domestik tertinggi.