Dirjen PSLB3: Gerakan Nasional 'Compost Day - Kompos Satu Negeri' Momentum Tuntaskan Masalah Sampah
Sampah organik sisa makanan yang ditimbun di landfill tersebut akan menghasilkan emisi gas metana (CH4) yang memiliki kekuatan 25 kali lebih besar dalam memerangkap panas di atmosfer dibandingkan karbon dioksida (CO2), sehingga berkontribusi besar dalam perubahan iklim.
“Ledakan gas metana juga yang menjadi salah satu penyebab terjadinya longsor di TPA Leuwi Gajah pada tahun 2005 yang lalu dikarenakan sebagian besar sampah organik ditimbun di landfill yang dikelola secara open dumpin,” ungkap Dirjen Rosa Vivien memberi contoh.
Menurut Rosa Vivien, untuk mengenang tragedi tersebut, setiap tanggal 21 Februari Indonesia memperingati Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN) sebagai konstelasi perjalanan panjang sistem pengelolaan sampah di Indonesia.
Peristiwa di TPA Leuwigajah tidak hanya berimplikasi pada shifting perhatian dan fokus ke pengelolaan sampah terintegrasi, namun dampak yang lebih besar terjadi terhadap lingkungan dan ekosistem kehidupan global yaitu perubahan iklim.
Terkait Gerakan Nasional “Compost Day - Kompos Satu Negeri”, Dirjen PSLB3 Rosa Vivien mengungkapkan saat ini terdapat 2 (dua) masalah utama dalam pengelolaan sampah organik di Indonesia.
Pertama, tidak dilakukan pemilahan sampah organik oleh masyarakat. Kondisi tersebut mengakibatkan sampah organik yang tercampur dengan sampah anorganik akan sulit dilakukan pengolahan lanjutan, misalnya melalui metode pengomposan atau Budi Daya Maggot Black Soldier Fly.
“Kondisi tercampur ini dapat mengakibatkan proses pengolahan menjadi tidak optimal dan nilai ekonominya akan menurun sehingga dapat menghambat kegiatan ekonomi sirkular,” ujar Rosa Vivien.
Kedua, sebagian besar sampah organik masih berakhir di landfill. Kondisi tersebut mengakibatkan hal sebagai berikut: Pertama, TPA menjadi bau yang berakibat buruk pada lingkungan sekitar.