DPR dan Komnas HAM Desak Pemerintah Cabut Perpres 61/2015
jpnn.com - JAKARTA – Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 61 tahun 2015 tentang Penghimpunan dan Pemanfaatan Dana Kelapa Sawit dianggap hanya merugikan para petani sawit.
“Kita meminta pemerintah untuk segera mencabut Perpres tersebut, karena implikasi di lapangan hanya merugikan petani sawit dan bertentangan dengan UU Perkebunan,” kata Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Viva Yoga Mauladi saat diskusi Publik di Jakarta, Selasa (26/1).
Viva Yoga menuturkan kehadiran Perpres Nomor 61 tahun 2015 yang memuat kebijakan pungutan ekspor CPO sebesar USD50 per ton melenceng dari UU Nomor 39 tahun 2014 yang disusun oleh komisi IV waktu itu. “UU kan dibuat untuk melindungi petani sawit, nah yang terjadi tafsir terhadap UU ini lebih banyak ditunggangi oleh konglomerat dan pemilik kapital, sangat merugikan petani sawit,” ujarnya.
Karena, menurut Yoga, ternyata dana yang dihimpun dari pungutan ekport CPO tersebut hanya disalurkan lebih banyak untuk subsidi produsen biodiesel dari minyak CPO. Kebijakan pungutan Ekport CPO tersebut berdampak pada penurunan pendapatan dan kemampuan pembayaran kredit para Petani Plasma Sawit Dan Petani sawit Mandiri.
“Hanya menguntungkan produsen bahan bakar nabati, hanya mendorong peningkatan kemiskinan petani di Indonesia, Perpres ini perlu dicabut,” tegasnya.
Di tempat yang sama, Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Natalius Pigai menilai aturan yang dikeluarkan pemerintah tersebut berpotensi melanggar HAM. Sebab, perusahaan korporasi bisa menekan petani plasma untuk menyerahkan tanahnya, lantaran tidak kuat untuk membayar pungutan pajak.
“Penggunaan anggaran telah menimbulkan perspektif negatif terhadap masyarakat. Karena itu sebaiknya dicabut saja,” kata Natalius Pigai.
Natalius memprediksi pengelolaan lahan 45 persen yang dimiliki oleh petani sawit kedepan bisa saja berkurang.