Eks Bos KPK: Hukuman Mati untuk Koruptor Bukan Bagian Peradaban Hukum Berkelanjutan
jpnn.com, JAKARTA - Tuntutan hukuman mati yang disampaikan jaksa terhadap Heru Hidayat terdakwa kasus dugaan korupsi PT Asabri telah menimbulkan kegaduhan dan kontroversi publik.
Banyak pihak menilai, hukuman mati tidak seharusnya menjadi solusi dalam penegakan hukum di Indonesia.
Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang ikut berkomentar soal masih adanya ancaman hukuman mati di Indonesia.
Meski ia mengakui tak ikut mendalami kasus PT Asabri, namun tuntutan hukuman mati sama sekali tidak mencerminkan pembangunan peradaban hukum yang sustainable atau berkelanjutan.
“Saya tidak mau masuk ke materinya, tentang apa yang diperbuat yang bersangkutan. Namun sejarah menunjukkan hukuman mati tidak membangun peradaban hukum yang sustain. Sebaiknya dihukum sesuai hukum positif kita, misalnya seumur hidup penjara atau hukuman maksimal lainnya,” kata Saut kepada wartawan, Kamis (9/12).
Saat ditanya apakah hukuman mati dapat benar-benar menjadi solusi ampuh menghentikan laju tindak pidana korupsi di Indonesia,
Saut menyinggung soal Corruption Perception Index (CPI) atau Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia berada di posisi rendah yaitu di angka 37.
“Kita masih pada angka CPI 37. Kerjaan memati-matikan koruptor itu hanya seperti menembak segerombolan orang jahat yang sedang melakukan aksi, anggota kelompok yang lain kabur dan tiarap sementara untuk kemudian beraksi lagi kapan-kapan,” ujar Saut.