Fadli Zon: Isu Rohingya Harus Masuk AIPA
jpnn.com, MANILA - Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon memimpin delegasi parlemen Indonesia mengikuti Sidang Umum ke-38 ASEAN Inter-Parliamentary Assembly (AIPA) yang diselenggarakan di Manila, Filipina. Sidang dibuka Sabtu (16/9) yang akan dihadiri oleh Presiden Filipina Rodrigo Duterte.
Selain Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra, anggota delegasi Indonesia lainnya adalah Hj. Nurhayati Ali Assegaf (Partai Demokrat), Juliari P. Batubara (PDIP), S.B. Wiryanti Sukamdani (PDIP), H. Firmandez (Golkar), Andi Achmad Dara (Golkar), Sartono Hutomo (Partai Demokrat), Lucky Hakim (PAN), Abdul Kadir Karding (PKB), Mahfudz Abdurrahman (PKS), dan Achmad Farial (PPP).
Pada Jumat (15/9) kemarin, delegasi parlemen Indonesia berhasil membuat hangat pertemuan Komite Eksekutif AIPA yang bertugas untuk menyusun seluruh agenda persidangan. Perkaranya, delegasi Indonesia gigih mempertahankan agar parlemen negara-negara ASEAN memberikan sikap yang tegas dan jelas atas tragedi kemanusiaan yang menimpa etnis Rohingya di Myanmar.
“Isu mengenai Rohingya ini harus mendapatkan tanggapan dan sikap yang jelas dari delegasi parlemen negara-negara ASEAN. Sebab, isu tersebut sudah menjadi isu dunia. Parlemen Kanada sudah bicara, parlemen negara-negara Eropa sudah bicara, termasuk Presiden Duterte juga sudah bicara. Jika negara-negara ASEAN tidak bisa memberikan sikap yang jelas dan tegas atas isu yang ada di depan pelupuk mata ini, apa gunanya ASEAN dan AIPA?! Itu posisi parlemen Indonesia dalam menyikapi kasus tragedi kemanusiaan di Rohingya," kata Fadli.
Dia mengatakan, DPR RI sebenarnya telah menyiapkan satu draft resolusi terkait Rohingya. Namun draf itu telah mendapatkan tanggapan keberatan dari parlemen Myanmar. Mereka ingin agar resolusi itu didrop, tidak dimasukan ke dalam agenda AIPA. Tentu saja hal itu tak bisa diterima delegasi Indonesia.”
“Kami sebenarnya sangat terbuka kepada Myanmar untuk mengkoreksi dan memperbaiki draf resolusi itu, jika mereka keberatan dengan redaksi awal yang kami bawa. Jika mereka keberatan dengan nada kecaman terhadap aksi kekerasan atas etnis Rohingya, kami telah mengusulkan untuk memperlunak resolusi tersebut menjadi resolusi atas krisis kemanusiaan di Myanmar. Mereka menolak juga. Mereka mengatakan tidak ada krisis kemanusiaan di Myanmar. Malah delegasi parlemen mengatakan bahwa mereka di Rohingya itu teroris. Tentu kami keberatan karena dunia sudah menyaksikan kekerasan terhadap orang-orang biasa dan lemah.”
Forum lobi yang dihadiri Indonesia, Myanmar, Filipina dan Singapura tak menemukan kesimpulan.
“Posisi delegasi parlemen kita jelas, resolusi atas Rohingya itu sama sekali bukan untuk mencampuri urusan dalam negeri Myanmar, tapi untuk memberi bukti jika ASEAN dan AIPA benar-benar hadir saat terjadi krisis kemanusiaan di halamannya sendiri. Kita bisa dan biasa menyusun resolusi atas konflik di Palestina, atau kawasan lainnya, misalnya, tapi anehnya kita sulit sekali menyusun resolusi atas konflik yang terjadi di kawasan kita sendiri. Itu yang kami sampaikan kepada delegasi lainnya.”