Fokus Tindak Pidana Terorisme, Bukan Ribut Soal Definisi
Anggota Panitia Khusus (Pansus) RUU Antiterorisme DPR Arsul Sani mengatakan sebetulnya pembahasan definisi sudah mendekati kesepakatan. Pemerintah menyodorkan definisi mengacu pasal pidana materil yakni pasal 6 dan 7 dalam revisi UU yang dibahas tersebut.
Arsul melanjutkan, definisi terorisme versi pemerintah kurang lebihnya adalah "segala perbuatan yang denfan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan atau dengan maksud menimbulkan suasana teror dan rasa takut menimbulkan korban yang bersifat masal, dan atau mengakibatkan kerusakan, kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis, publik atau fasilitas internasional."
Menurut dia, banyak fraksi di DPR meminta agar dimasukkan frasa motif politik, ideologi, dan ancaman keamanan negara di definisi terorisme tersebut. Nah, ujar dia, frasa ancaman keamanan negara itu dianggap untuk membuka ruang yang lebih luas terhadap peran TNI. "Karena kalau frasa ancaman keamanan negara ini sudah bukan urusan Polri saja," jelasnya.
Menurut dia, tim perumus di DPR sebenarnya tidak begitu keras menolak. Namun, ujar Arsul, Polri keberatan kalau ada frasa motif politik dan keamanan negara.
Alasan Polri, kata dia, cukup masuk akal. Menurut Arsul, Polri berpendapat dalam setiap menangani terorisme mereka selalu menggali motif dan jaringannya sebagai pengembangan kasus, meskipun tidak ada di undang-undang, sebagai pengembangan kasus.
“Jadi tanpa ada itu kami sudah kami lakukan," kata dia menirukan alasan Polri.
Lalu, kata dia, muncul perdebatan, kalau sudah dilakukan kenapa tidak dicantumkan di dalam UU.
Menurut dia, Polri berpendapat kalau motif dicantumkan sebagai bagian dari pengertian defisini dalam batang tubuh UU, dikhawatirkan akan dimanfaatkan oleh para pengacara dari tersangka atau terdakwa yang mendampingi. Begitu dikenakan pasal, nanti pembelaannya adalah mengacu pasal-pasal tertentu yang tidak ada motif politiknya, dan ancaman keamanan negara.