Close Banner Apps JPNN.com
JPNN.com App
Aplikasi Berita Terbaru dan Terpopuler
Dapatkan di Play Store atau Apps Store
Download Apps JPNN.com

Gegara Cipta Kerja, Jokowi dan Puan Maharani Diberi Gelar Penjahat Konstitusi

Rabu, 07 Oktober 2020 – 15:19 WIB
Gegara Cipta Kerja, Jokowi dan Puan Maharani Diberi Gelar Penjahat Konstitusi - JPNN.COM
Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas menyerahkan laporan hasil kerja Panja RUU Cipta Kerja kepada Ketua DPR Puan Maharani pada rapat paripurna di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (5/10). Foto: Ricardo/JPNN.COM

Pengabaian terhadap konstitusi, secara khusus Pasal 33 UUD 1945, Ayat (3) mengenai kewajiban Negara atas tanah dan kekayaan alam Bangsa dan Ayat (4) mengenai prinsip dan corak demokrasi ekonomi yang dianut Bangsa. Lebih jauh lagi, banyak keputusan Mahkamah Konsitusi (MK) yang telah ditabrak UU Cipta Kerja, di antaranya Keputusan MK terhadap UU Penanaman Modal, UU Kehutanan, UU Perkebunan, UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, serta UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.

2. Tidak ada landasan filosofis, ideologis, yuridis dan sosiologis sehingga watak UU sangat liberal di bidang pertanahan

Tidak ada UU yang dijadikan acuan untuk masalah pertanahan. Argumen “norma baru” menjadi cara agar RUU Pertanahan yang bermasalah pada September 2019 lalu dapat dicopy-paste atau diseludupkan ke dalam UU Cipta Kerja. Inilah bentuk kolutif birokrat dalam proses legislasi. Tanpa landasan hukum yang diacu, maka UU Cipta Kerja bermaksud menggantikan prinsip-prinsip UUPA yang telah dilahirkan para pendiri bangsa dan panitia negara. Para perumus UU Cipta Kerja mengabaikan UUPA sebagai terjemahan langsung hukum agraria nasional dari Pasal 33 UUD 1945.

3. Asas dan cara-cara domein verklaring (Negaraisasi Tanah) dihidupkan kembali

Domein verklaring yang telah dihapus UUPA1960 dihidupkan lagi dengan cara menyelewengkan Hak Menguasai Dari Negara (HMN) atas tanah. Seolah pemerintah pemilik tanah, sehingga diberi kewenangan teramat luas melalui Hak Pengelolaan (HPL) atau Hak Atas Tanah Pemerintah. HPL ini disusun sedemikian rupa menjadi powerful dan luas cakupannya. Satu, HPL dapat diberikan pengelolaannya kepada pihak ketiga. Lalu dari HPL dapat diterbitkan macam-macam hak, Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Pakai (HP) kepada badan usaha dan pemilik pemodal. Selain itu, tidak adanya pemberian batas waktu HGU dll, sehingga moral hazard kembali menyeruak di tengah dominasi HGU oleh badan usaha (BUMN/PTPN dan swasta). Empat, perpanjangan dan pembaruan hak dapat dilakukan sekaligus. Inilah bentuk kejahatan terhadap Konstitusi.

4. Bank tanah melayani pemilik modal, sarat monopoli dan spekulasi tanah

Untuk menampung, mengelola dan melakukan transaksi tanah-tanah hasil klaim sepihak negara (domein verklaring/negaraisasi tanah) dibentuk Bank Tanah (BT). Lembaga BT diberi kewenangan mengelola HPL. Meski disebut sebagai lembaga nonprofit, namun sumber pendanaannya membuka kesempatan pada pihak ketiga (swasta) dan utang lembaga asing. Tata cara kerjanya pun berorientasi melayani pemilik modal. Sehingga para pemilik modal memiliki akses lebih luas dan proses lebih mudah memperoleh tanah melalui skema BT. Proses negaraisasi tanah sebagai sumber HPL bagi BT, otomatis membahayakan konstitusionalitas petani dan rakyat miskin atas tanah-tanahnya, yang belum diakui secara de jure oleh sistem negara. Pengalokasian tanah oleh BT tanpa batasan luas dan waktu mendorong eksploitasi sumber-sumber agraria, rentan praktik kolutif dan koruptif antara birokrat dan investor. BT juga berpotensi menjadi lembaga spekulan tanah versi pemerintah.

5. Penyesatan publik tentang reforma agraria dalam bank tanah

Pak Jokowi dan Mba Puan Maharani beserta pimpinan DPR lainnya mendapat gelar penjahat konstitusi dari kelompok ini

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News