Gegara Cipta Kerja, Jokowi dan Puan Maharani Diberi Gelar Penjahat Konstitusi
Agenda Reforma Agraria (RA) diklaim sebagai bagian dari pemenuhan aspirasi yang dijawab UU Cipta Kerja. Ini bentuk penyesatan kepada publik. Semakin memperjelas ketidakpahaman yang fatal para birokrat dan legislator tentang RA. Reforma Agraria sebagai jalan pemenuhan hak berbasiskan keadilan sosial untuk kaum tani, buruh tani, dan rakyat miskin tak bertanah (landless) tidak bisa diletakan dalam business process pengadaan tanah bagi kepentingan investor. Tujuan social justice, perbaikan ketimpangan dan transformasi ekonomi bersama dalam proses Reforma Agraria tidak bisa dicampuradukan dengan orientasi dan tujuan-tujuan ekonomi liberal dalam BT. Reforma Agraria dibawa-bawa sebagai pemanis meminimalisir penolakan Gerakan RA terhadap rencana BT sejak penolakan 2019.
6. Ketimpangan penguasaan tanah dan konversi tanah pertanian kecil dilegitimasi
Dalam UU Cipta Kerja, pemerintah dan perusahaan memiliki kewenangan untuk secara sepihak menentukan lokasi pembangunan infrastruktur tanpa persetujuan masyarakat. Otomatis, UU akan memperparah penggusuran, ketimpangan dan konflik agraria sebab mempercepat dan mempermudah proses perampasan tanah (land grabbing) demi pengadaan tanah untuk pembangunan infrastruktur, perkebunan, pertambangan, energi, agribisnis, pariwisata, dan kehutanan. UU juga menghapus mekanisme perlindungan terhadap lahan pertanian pangan dengan merubah UU Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Petani dipaksa angkat kaki dari tanah pertaniannya jika pemerintah menetapkannya sebagai obyek pembangunan.
7. Alat hukum baru pemerintah, aparat keamanan dan perusahaan untuk mengkriminalisasi rakyat
Petani, masyarakat adat dan pejuang agraria kembali di ujung tanduk pemenjaraan akibat klaim kawasan hutan (Negaraisasi Hutan) kembali dikukuhkan. UU ini mengingkari putusan MK No. 95/2014 terkait UU Kehutanan, sehingga pemerintah dan perusahaan bisa memenjarakan rakyat yang menguasai dan memanfaatkan hasil hutannya. UU Cipta Kerja juga memasukan larangan bagi petani dan masyarakat adat untuk berladang dengan cara membakar. Hal ini menunjukkan sikap anti petani kecil dengan budaya agrarisnya. Juga mengancam kedaulatan masyarakat adat dan kearifan lokalnya di atas wilayah adatnya.
8. Diskriminasi hak petani akibat klaim hutan negara
UU ini memberikan keistimewaan untuk percepatan proyek strategis nasional (PSN), yang sebelumnya sering terhambat karena ketentuan minimal tutupan hutan 30 persen. Berbanding terbalik untuk kepentingan RA, dimana pemerintah selalu menggunakan dasar 30 persen tersebut. Petani dan masyarakat adat lagi-lagi hanya diberikan solusi penyelesaian konflik melalui izin akses perhutanan sosial. Klaim DPR tentang UU menjadi jalan penyelesaian konflik sama sekali tak terbukti. Sebab hak petani dan kampung-kampung dalam klaim PERHUTANI dan HTI tetap diabaikan.
9. Penghilangan hak konstitusional dan kedaulatan petani atas benih lokal