Gua-gua Belanda dan Pos Intai Kapal di Pulau Nusakambangan
Rombongan kami enam orang, termasuk Fauzan. Namun, lantaran motornya hanya dua, terpaksa diangkut bergantian. ’’Kita bergantian. Ada yang jalan dulu, ada yang naik motor boncengan. Nanti saya dan bapake ulang-alik jemput yang jalan,’’ ujar Fauzan membrifing kami.
Fauzan melesat dengan motor trailnya memboncengkan satu anggota rombongan. Sedangkan saya bersama seorang anggota Intel Lanal Cilacap dengan motor bebek terengah-engah melawan medan yang sulit.
Kami harus melintasi jalanan cadas berbatu. Tak jarang di beberapa titik jalannya ambles. Beberapa kali anggota Lanal yang saya boncengkan memilih untuk turun.
Perjalanan dari titik berangkat kami di dermaga navigasi ke Gua Cimiring sekitar 6–7 km yang bisa ditempuh dalam 30–45 menit dengan naik motor.
Sesampai di Cimiring, tim lebih dulu mencatat titik koordinat dari perangkat GPS (global positioning system) yang kami bawa. Setelah itu, kami menuruni tebing yang tak jauh dari pintu masuk mercusuar Cimiring. Dibutuhkan pedang atau parang untuk membabat tumbuhan yang menghalangi perjalanan kami.
Setelah turun 5–6 meter, kami sampai di sebuah lubang kecil di tebing. Bentuknya kotak. Tingginya tak lebih dari setengah meter. Lebarnya kurang lebih 120 cm.
Lubang tersebut ternyata pintu masuk Gua Cimiring. Untuk masuk ke gua itu, kami harus berjongkok, lalu meluncur ke bawah bergelantungan akar pohon tua. Sampah dedaunan kering membalut baju kami begitu sampai di dalam gua.
Kondisi gua buatan itu kini tak terlalu luas dan tinggi. Mungkin karena bagian bawahnya sudah tertimbun tanah serta bebatuan. ’’Mungkin juga karena kena gempa. Kan gempa di Pangandaran sering terasa sampai sini,’’ kata Fauzan.