Gus Miek, Gus Miftah, Dorce Gamalama, dan Khalid Basalamah
Oleh Dhimam Abror DjuraidHumor menunjukkan kematangan jiwa. Kemampuan menertawakan diri sendiri bukan tanda merendahkan diri, tetapi tanda kebijaksanaan.
Dengan humor, persoalan seberat apa pun akan menjadi ringan. Humor adalah senjata yang paling ampuh sebagai ‘’ice breaker’’ untuk memecah kebuntuan komunikasi.
Selera humor sudah terlalu lama hilang dari ranah publik kita, sehingga yang terasa setiap hari adalah hawa yang sumuk dan panas.
Dorce tentu risau dengan status eksistensialnya. Dia yang sangat religius mencari fatwa mengenai gendernya kepada banyak ulama.
Dorce mengatakan bahwa sebagaimana pandangan publik secara umum, ada di antara ulama yang mengharamkan perilaku transgender. Tentu para ulama itu mempunya dalil kukuh dalam menyikapi kasus Dorce.
Dorce terlahir di Solok, Sumatera Barat sebagai Dedi Yuliardi bin Ahmad (nama itu yang tertera di batu nisan). Mudah diduga, masa kecil Dorce tentu kental dengan nilai-nilai religius. Wilayah Sumatera Barat dikenal sebagai daerah basis Islam puritan.
Perang Paderi pada 1821 adalah tonggak perlawanan dan kebangkitan kalangan Islam puritan melawan penjajah, sekalgus juga kebangkitan puritanisme melawan Islam mistisisme yang berkembang di Jawa.
Dengan latar belakang budaya semacam itu, Dorce sudah terbiasa dengan cara-cara beribadah ‘Islam modernis’ yang biasanya diasosiasikan dengan Muhammadiyah, ketimbang Islam tradisionalis yang diasosiasikan dengan Nahdlatul Ulama.