Hakim MK Seharusnya Mengawal Konstitusi, Bukan 9 Naga Parlemen
Di sisi lain, menurutnya, putusan 55/PUU-XVIII/2020 ini juga tidak memuat argumen yang membantah putusan-putusan sebelumnya. Putusan itu mengatur tentang partai politik yang sudah lolos parliamentary threshold (PT) tidak perlu melakukan verifikasi faktual, tetapi cukup verifikasi adminstratif saja.
“Aneh kalau kemudian selesainya di perkara administrasi saja tidak sampai kepada upaya membuktikan kebenaran administrasi itu. Jadi, bagi saya aneh saja kalau mahkamah kemudian memfokuskan secara istimewa kepada sembilan partai parlemen dan itu juga tanpa alasan yang detail, ya kecuali soal perolehan suara itu,” ungkapnya.
Diketahui, bahwa putusan MK sebelumnya mengatur tentang perlunya partai politik, baik itu yang lolos ambang batas parlemen ataupun yang belum lolos untuk tetap melakukan verifikasi faktual dan verifikasi administratif.
Feri Amsari kemudian mengutip ungkapan dari Marco Kartodikromo dan Pramoedya Ananta Toer yang menyatakan, “didik rakyat dengan pergerakan dan didiklah penguasa dengan perlawanan”.
“Jadi, inilah perlawanan akademik untuk mempertanyakan keputusan-keputusan MK terkait kepemiluan. Di mana kesan yang dibaca hari ini, MK membuka jalan lebar kepada partai-partai yang dominan di parlemen. MK tidak bicara keadilan pemilu secara prinsip, tetapi bicara keuntungan partai-partai yang ada di parlemen,” bebernya.
Dari titik itu, lanjut Amsari, ia kemudian mencemaskan Pemilu tahun 2024.
“Mungkin tidak seriuh para pendukung di 2014-2019, tapi bukan tidak mungkin Pemilu 2024 jauh lebih rusak dibandingkan pemilu sebelum-sebelumnya dalam konteks proses penyelnggaraan dan prinsip keadilan pemilu," ujar dia.
"Oleh karena itu, saya pikir JIB dan teman-teman seperti Perludem sudah di arah yang benar untuk kemudian mengontrol proses penyelenggaraan pemilu itu dari saat ini melalui berbagai media," tambah Amsari.