HNW Ungkap Banyak Keanehan RUU Cipta Kerja, Ada Kata Dipaksa
Menurut HNW, oleh karena tidak terpenuhinya asas tranparansi dan kepatuhan pada aspek legal itu, wajar sikap beberapa fraksi, seperti FPKS dan FPD yang menolak melanjutkan pembahasan RUU tersebut ke rapur.
Ketika dibawa juga ke rapur, lanjut dia, wajar bila FPKS dan FPD menolak menyetujui RUU itu menjadi UU Cipta Kerja.
Lebih lanjut, HNW menuturkan konstitusi menyatakan bahwa Indonesia merupakan negara hukum, dan kekuasaan legislasi berada di tangan DPR melalui fraksi-fraksi, alat kelengkapan dewan dan anggota-anggota DPR.
Menurut HNW, seharusnya setiap fraksi yang merupakan elemen penting di dalam DPR diberikan akses seluas-luasnya dalam pembahasan suatu RUU.
"Termasuk menerima draf utuh RUU yang akan dibahas atau akan diputuskan, sebelum diminta menyiapkan dan menyampaikan pendapat mini maupun pendapat akhir. Dan itu yang sudah menjadi konvensi di DPR,” tuturnya.
HNW menambahkan kebiasaan ketatanegaran atau konvensi dalam penyusunan RUU adalah setiap fraksi dikirimi draf naskah RUU secara utuh yang sudah disepakati dan selesai dibahas.
Sehingga, lanjut dia, pendapat mini apalagi pendapat akhir yang akan disampaikan pada pembicaraan akhir tingkat I maupun pada tingkat II dapat dilakukan secara benar, maksimal dan komprehensif.
“Selain hukum yang tertulis, kebiasaan atau konvensi ketatanegaraan ini juga seharusnya bisa menjadi pedoman dalam pembahasan/pwmgambilan keputusan terhadap Omnibus RUU Ciptaker. Apalagi, RUU ini memiliki dampak kepada lebih dari 78 undang-undang yang berlaku saat ini,” ujarnya.