Intoleransi Politik di Indonesia Makin Meningkat 3 Tahun Terakhir
Ia menjelaskan, gerakan 212 yang berada di belakang kasus Ahok bukanlah sebuah puncak, justru merupakan kran terhadap naiknya intoleransi politik.
Lebih lanjut, doktor lulusan Australia ini mengatakan, permasalahan yang terjadi sebenarnya bukan antara warga Muslim dan non-Muslim. Intoleransi itu disebutnya dipicu oleh majority privilege atau keinginan untuk diistimewakan.
“Salah satu penjelasan mengapa tingkat intoleransi tinggi itu karena adanya majority privilege. Merasa perlu mendapat treatment (perlakuan) lebih dari yang minoritas. Dan ini sebenarnya juga terjadi di negara lain, di Skandinavia misalnya, yang dilakukan oleh umat Kristen,” terang Burhanuddin.
Yenny Wahid dari The Wahid Institute, yang turut menjadi pembicara dalam acara rilis survei tersebut, memiliki pendapat senada. Ia bahkan menolak jika masyarakat Indonesia disebut intoleran.
“Ini bukan indonesia sendiri, ini tren dunia. Dan ini tidak bisa dibiarkan, kenapa? Karena ini mengoyak rasa kebangsaan kita,” ujar putri mantan Presiden RI, Abdurrahman Wahid, tersebut.
Yenny mengutarakan, sebenarnya intoleransi terkait majority privilege tidak hanya dilakukan oleh warga Muslim.
“Kami (Wahid Institute) meneliti kasus-kasus ini secara detil, kami menemukan banyak kesamaan antara yang terjadi di Bogor dengan Gereja Yasmin, dengan yang terjadi di Kupang, dengan masjid yang akan dibangun di sana.”