Jangan Sampai Pelibatan TNI Melangkahi Supremasi Sipil
jpnn.com, JAKARTA - Ketua Setara Institute Hendardi menilai, peran TNI dalam pemberantasan terorisme tidak perlu diatur dalam revisi Undang-Undang Nomor 15/2003 tentang Tindak Pidana Terorisme.
Pasalnya, hal tersebut telah diatur dalam Pasal 7 ayat 2 dan 3 UU Nomor 34/2004 tentang TNI sebagai salah satu dari 14 tugas operasi militer selain perang (OMSP).
"Jadi tanpa dipertegas TNI sudah mengemban mandat tersebut. Buktinya, dalam beberapa operasi di mana Polri memerlukan bantuan TNI, dua institusi ini mampu bekerja profesional dan efektif," ujar Hendardi di Jakarta, Senin (5/6).
Hendardi menilai, mempertegas peran TNI dalam RUU Antiterorisme justru akan bertentangan dengan Pasal 7 UU 34/2004 tentang TNI, yang mengharuskan adanya kebijakan dan keputusan politik negara dalam melibatkan TNI pada OMSP. Termasuk dalam soal terorisme.
"Keharusan adanya kebijakan dan keputusan politik negara merupakan konsekuensi prinsip supremasi sipil (civilian supremacy) dalam negara demokrasi, di mana panglima tertinggi TNI adalah otoritas sipil, yakni presiden," ucap Hendardi.
Artinya, sebagai sebuah kebijakan dan keputusan politik negara, maka OMSP termasuk memberantas terorisme adalah keputusan ad hoc dan temporer oleh suatu situasi darurat.
Sementara jika pelibatan TNI dipermanenkan dalam RUU Antiterorisme, sama artinya menyerahkan otoritas sipil pada militer untuk waktu yang tidak terbatas.
"Hal inilah yang bertentangan dengan prinsip supremasi sipil. Karena itu pelibatan TNI secara eksplisit harus ditolak dengan alasan merusak sistem peradilan pidana. Terorisme adalah 'crime' yang harus diatasi dengan pendekatan hukum yang selama ini terbukti mampu mengurai jejaring terorisme dan mencegah puluhan rencana aksi terorisme," kata Hendardi.