Jejak - jejak Prajurit TNI di Tapal Batas, Demi Merah Putih
Buruknya akses telekomunikasi ini memaksa hubungan dengan keluarga menjadi sangat jarang. Jika ingin berkomunikasi dengan istri, prajurit mesti menghubungi Pos Kelompok Kompi (Koki), yang berjarak lima hari jalan kaki dari Long Bulan, dengan radi. Pos Koki-lah yang meneruskannya ke tujuan. “Jadi kalau ngomong sama istri itu yang dengar satu kompi,” ujar Sitorus terbahak-bahak. “Jadi tak ada rahasia, paling bicara yang umum-umum saja,” seru di sela tawanya.
“Hape (handphone) saya ini (sembari memperlihatkan smartphone) setahun tidak dipakai, tahu-tahu rusak,” sambung bapak tiga anak itu dengan dialek khas Batak.
Suhu di Long Bulan juga tergolong ekstrem. Bisa turun mencapai 15 derajat Celcius. Tanahnya pun tandus. Tak pas untuk bercocok tanam. Bahkan sekadar menanam sayur- mayur.
Berjarak sehari jalan kaki membelah hutan dari Pos Long Bulan, ada Pos Latang. Komandan pos ini dipegang Sertu Eri Suprastiono. Misi mereka sama dengan pos-pos lain. Pun kendala yang dihadapi.
Patok terjauh yang harus dijaga bisa ditempuh dengan berjalan kaki sehari penuh dari Pos Latang. “Kami mulai yang paling jauh, kemudian sisir mundur,” kata dia.
Kemudian ada Pos Long Bena. Pos ini paling anyar. Dibangun pada 2014, dan baru ditempati empat tahun kemudian. “Pas kami datang, kondisi bangunan banyak yang rusak. Harus diperbaiki,” ujar Komandan Pos Long Bena Letda Inf Jojo Iswantoro.
Pria lulusan Akmil angkatan 2017 itu memimpin tim mengawasi 458 patok. Patroli dilakukan per dua minggu dengan lima personel. “Kendalanya sama dengan teman-teman di pos lain. Hanya, kami beruntung dekat sungai sebagai sumber air. Kami juga bercocok tanam, menanam sayur-mayur,” ujar Jojo.
Di Pos Long Bulan dan Pos Latang, prajurit tak bisa bercocok tanam. Sebab tanah yang tandus. Atau gambut dengan tingkat keasaman tinggi. “Karena enggak ada sinyal telekomunikasi, kami membunuh kebosanan dengan berolahraga,” ujar Jojo.