JHT
Oleh: Dhimam Abror DjuraidDalam dunia simulasi, bukan realitas yang menjadi cermin kenyataan, melainkan model-model yang ditawarkan melalui media yang tertata dengan rapi. Ada tempat-tempat impian seperti Ibu Kota Negara yang akan menjadi kota impian, indah, gemerlap, dan ramah dengan lingkungan.
Ada waduk-waduk yang dibangun di berbagai daerah yang akan bisa mengairi ribuan hektare sawah dan kebun, yang akan menghasilkan padi dan buah-buahan yang akan menyejahterakan seluruh rakyat. Ada jalan raya bebas hambatan yang mulus, ada pelabuhan, ada bandara, ada rel kereta api cepat. Semuanya dibangun untuk memuluskan hidup rakyat.
Rakyat dihibur oleh perhelatan MotoGP. Rakyat gembira ria mendapatkan hiburan kendati tidak mampu membayar tiket ke Mandalika. Sebagaimana zaman Romawi kuno, pertunjukan gladiator dengan kereta kuda ala Ben Hur dipakai untuk menggeser perhatian rakyat dari berbagai keruwetan politik, para gladiator modern sekarang mengganti kereta kuda dengan motor 500cc.
Di dalam dunia simulasi, manusia mendiami suatu ruang realitas, di mana perbedaan antara yang nyata dan fantasi, yang asli dan yang palsu sangat tipis. Manusia kini hidup dalam ruang khayali, yang nyata sebuah fiksi yang faktual. Realitas-realitas simulasi menjadi ruang kehidupan baru di mana manusia menemukan dan mengaktualisasikan eksistensi dirinya.
Lihatlah dunia digital, di situ dunia simulasi tampil secara sempurna. Inilah ruang yang tak lagi peduli dengan kategori-kategori nyata, semu, benar, salah, referensi, representasi, fakta, citra, produksi, reproduksi, semuanya lebur menjadi satu dalam silang sengkarut tanda.
Dalam media sosial, realitas tidak hanya diproduksi, disebarluaskan atau direproduksi, bahkan juga dimanipulasi. Realitas simulasi seperti ini membentuk sebuah kesadaran baru bagi masyarakat, yang sudah tidak bisa membedakan lagi citra dengan kenyataan, dan bahkan mereka tidak peduli.
Sebuah poster digital menggambarkan separo wajah Jokowi dan separuh wajah Soeharto. Ada humor dan ada ironi di sana. Ada yang menganggapnya tidak serius dan hanya melihatnya sebagai lelucon.
Seperti kata Baudrillard, sejarah yang berulang akan menjadi lelucon. Namun, lelucon yang berulang akan menjadi sejarah. (*)
Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?