Close Banner Apps JPNN.com
JPNN.com App
Aplikasi Berita Terbaru dan Terpopuler
Dapatkan di Play Store atau Apps Store
Download Apps JPNN.com

Jok-Pro

Oleh Dhimam Abror Djuraid

Minggu, 20 Juni 2021 – 20:12 WIB
Jok-Pro - JPNN.COM
Presiden Joko Widodo dan Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto. Foto: arsip JPNN.com

Namun, akhirnya Soeharto ikut bablas dari kekuasaan setelah diturunkan dengan paksa oleh gerakan reformasi.

Baca Juga:

Absennya pembatasan kekuasaan melahirkan seorang Sokarno yang membangun kultusnya sendiri. Dia menahbiskan diri sebagai Paduka Yang Mulia Pemimpin Revolusi Indonesia, kemudian mengangkat diri menjadi presiden seumur hidup.

Akhir kepemimpinan Soekarno ditandai dengan ontran-ontran politik yang mengerikan yang membawa korban ratusan ribu atau malah jutaan nyawa rakyat yang tidak berdosa. Kenangan buruk dari dua masa kepemimpinan otoriter itu sampai sekarang masih membekas dalam psyche masyarakat dan menjadi trauma sejarah berkepanjangan.

Dalam dunia demokrasi moderen ada konvensi-konvensi yang menjadi consensus nasional yang disepakati bersama. Salah satu yang paling esensial adalah penguasa eksekutif hanya boleh dipilih maksimal dua kali saja.

Pembatasan itu mengacu pada moral dasar demokrasi bahwa kekuasaan tidak boleh berada di satu tangan, tetapi harus menyebar seluas mungkin. Kesepakatan itu kemudian ditegaskan menjadi Pasal 7 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang membatasi masa jabatan presiden dan wakil presiden maksimal dua periode.

Oleh sebab itu, dalam pengelolaan negara dibuat mekanisme sirkulasi rutin. Misalnya, melalui pemilihan kepala negara dan kepala daerah secara berkala.

Mekanisme itu  bukan sekadar memenuhi kewajiban dan menjadi semacam demokrasi prosedural, tetapi harus benar-benar mencerminkan demokrasi esensial.

Dalam praktik demokrasi ada dua jenis pembatasan kekuasaan, yaitu pembatasan legal dan pembatasan etik. Pembatasan legal dilakukan dengan aturan resmi seperti regulasi dan konstitusi, yaitu dengan pemilihan kepala negara dan kepala daerah maksimal dua kali.

Empat indikator kematian demokrasi sudah ada di depan mata kita. Gerakan Jokowi-Prabowo akan menjadi paku untuk peti mati demokrasi Indonesia.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

X Close