KemenPUPR Gunakan Aspal Karet Bangun Jalan di Kota Lahat
Syaiful menegaskan nantinya harga karet yang dibeli dari petani mencapai Rp8 ribu per kg. Karet dari petani tersebut memiliki kadar karet kering (K3) sebesar 55-60 persen. Pembelian karet dari petani dilakukan oleh pabrik yang memproduksi brown crepe. Kementerian nantinya akan menunjuk pabrik yang menyuplai bahan brown crepe kepada Kementerian PU. Syaratnya, pabrik wajib mencantumkan Surat Keterangan Asal Brokat (SKAB) dan kuitansi pembelian dari petani atau KUD. “Jika tidak ada kedua syarat itu, kami tidak mau membelinya,” tegas Syaiful.
Sehingga, petani karet asal Sumsel ataupun di daerah lainnya akan terbantu dengan kebijakan tersebut. Produksinya bisa terserap. Apalagi dua tahun ke depan, pihaknya bakal menyerap sebanyak 150 ribu ton aspal karet atau setara 10.500 ton karet kering atau sekitar 21 ribu ton bokar. Guna mengawasi kualitas produk, pihaknya akan bekerjasama dengan Tim Balai Peneliti Karet Sembawa. Nantinya, mereka bertugas untuk memastikan karet yang dibeli sesuai dengan standar yang ditetapkan.
Proses pengawasan kualitas (quality control) akan dilakukan dua kali. Yakni pada saat brown crepe tiba di gudang penyimpanan dan pada saat brown crepe akan dikeluarkan dari gudang penyimpanan. “Selain itu, kami juga akan menggandeng Tim Pengawal dan Pengaman Pemerintah serta Pembangunan Daerah (TP4D) dari Kejaksaan dalam pengawasan proses pembelian karet. Sehingga meminimalisir kecurangan, baik dari produsen maupun pihak lainnya yang terlibat dalam penerapan program ini,” terangnya.
Terkait harga karet, Syaiful menuturkan, hanya akan membeli karet petani seharga Rp8 ribu per kg. Bukan Rp10.500 seperti yang diungkapkan Dinas Perkebunan Provinsi Sumsel beberapa waktu lalu. “Itu kan hanya usulan. Seluruh pihak manapun boleh mengajukan usulan. Tapi kami tetap di harga Rp8 ribu sesuai yang diinstruksikan Presiden. Harga itu juga sudah melalui kajian serta survei. Dimana harga karet di tingkat petani saat ini berkisar Rp6 ribuan per kg. Artinya masih lebih tinggi dari harga pasaran,” ucapnya.
Syaiful mengungkapkan, pengembangan produk dari karet juga nantinya akan menyasar ke komponen infrastruktur pendukung jalan lainnya. Seperti trotoar. Karena saat ini trotoar masih menggunakan bahan beton yang mudah hancur jika terjadi tabrakan. “Trotoar ini nantinya akan dilapisi karet juga sebagai peredam. Sedang dikembangkan ke arah sana,” ucapnya.
Terpisah, Kabid Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan (P2HP) Dinas Perkebunan Sumsel, Rudi Alpian menerangkan, harga beli karet untuk pembuatan brown crepe yang ditawarkan Kementerian PU Pera sebesar Rp8 ribu jauh dari harga di pasaran. Untuk pembuatan brown crepe dibutuhkan karet dengan kualitas tinggi. Yakni dengan K3 sebesar 55-60 persen. Dengan harga yang ditawarkan, Rudi tidak menjamin pabrik bisa mendapatkan karet dengan kualitas tersebut.
“Harga karet berdasarkan FOB (Free on Board) saat ini berkisar Rp8.000-Rp8.699 per kg untuk karet berusia satu minggu. Sementara untuk yang dua minggu, berkisar Rp10.000-Rp10.600. Artinya harga sebesar Rp8 ribu tidak sanggup memenuhi kualitas karet yang diinginkan,” terangnya.
Kalaupun dipaksakan, sambung Rudi, dirinya khawatir pabrik akan menerima karet yang kualitasnya jauh dari yang diinginkan. Selain itu, banyak petani yang tergabung dalam Unit Pengolahan dan Pemasaran Bokar (UPPB) menjadi kecewa lantaran harganya tidak sebanding. “Buat apa mereka gabung dengan organisasi dan menjaga kualitas kalau harganya segitu. Itu kan malah tidak mendidik. Presiden juga saat kunjungannya ke sini bertanya dengan petani yang tidak bergabung dalam UPPB. Sehingga, didapatlah harganya sebesar Rp6 ribu,” ungkapnya.