Ketika 'Surga' Diserang
ERIK: Pada satu titik saat saya masuk ke dalam klub, atapnya runtuh dan ada tiga perempuan yang terperangkap di ujung klub di atap yang terbakar. Dan mereka berteriak minta tolong.
Saya melihat mereka dan berpikir 'saya harus berjalan menyeberangi atap ini, yang panjangnya 20 kaki, dan terbakar.' Berat badan saya 120 kilogram. Saya pikir 'satu kali menyeberangi saja sudah bagus, bagaimana menyeberang tiga kali dengan membawa satu perempuan setiap kalinya.'
Jadi saya terpaksa meninggalkan perempuan itu dan membiarkan mereka meninggal. Otak saya mengatakan saya melakukan hal yang benar tapi hati saya terus mengatakan 'kamu pengecut' ... dan saya masih dihantui keputusan yang saya buat 20 tahun lalu ini.
Situasi dalam 'zona perang'
Rumah Sakit Sanglah langsung kewalahan menangani korban yang datang. Beberapa di antaranya ada yang diterbangkan ke Australia untuk ditangani ahli luka bakar.
ALAN: Rumah sakit Sanglah seperti medan perang. Kamar-kamar penuh dengan pasien, para petugas bekerja lebih keras, orang-orang mengalami luka yang mengerikan, terbakar, dan beberapa bisa saja meninggal.
DECI: Sampai di sana [rumah sakit Sanglah] sudah sangat penuh, korban ada di mana-mana. Saya tidak langsung mendapat bantuan … Sampai akhirnya seorang perawat membawa kursi roda dan meminta saya untuk duduk lalu mendorong ke dalam. Begitu di dalam saya harus menunggu karena saking penuhnya. Saya ingat cuma bisa memegang tangan untuk menahan darah yang terus keluar.
... Begitu mereka mengangkat saya dari kursi roda, saya tidak ingat apa-apa. Saya bangun dan melihat ibu saya ada di sebelah dan bilang kalau saya tidak sadarkan diri selama tiga hari. Dan kondisi saya tidak baik.
ALAN: Di luar [rumah sakit], ambulans dan truk terus berdatangan, membawa lebih banyak korban. Anak-anak memanjat pohon dari sebelah untuk mengintip.