Klub Liga Indonesia Rawan jadi Penampung Uang Korupsi
jpnn.com, CILEGON - Modus pemberian dana sponsor untuk Cilegon United Football Club (CUFC) untuk mengaburkan uang korupsi telah terbongkar. CUFC adalah tim yang berlaga di Liga 2, dikelola oleh Tubagus Iman Ariyadi, Wali Kota Cilegon yang dijadikan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Sabtu (23/9).
Tidak tertutup kemungkinan, modus menampung uang haram itu juga marak terjadi di tempat lain. Untuk diketahui, tidak sedikit klub-klub sepak bola Liga 2 yang dikelola penyelenggara negara. Ada yang menjabat sebagai ketua umum (presiden klub) atau manajer sampai pembina.
Bukan hanya di Liga 2, di Liga 1 juga ada beberapa tim yang dikuasai kepala daerah. Antara lain, Persipura Jayapura. Klub yang berasal dari ujung timur Indonesia itu menjadikan Wali Kota Jayapura Benhur Tomi Mano sebagai ketua umum. Begitu pula dengan Sriwijaya FC yang saat ini dikelola Bupati Musi Banyuasin Dodi Reza Alex Noerdin.
Meski tidak ada larangan penyelenggara negara menjadi pengurus klub sepakbola nasional, fenomena tersebut tentu berpotensi membuka ruang terjadinya konflik kepentingan (conflict of interest).
Pengamat sepakbola nasional Anton Sanjoyo mengatakan kepentingan itu sangat mungkin terjadi bila klub tidak dikelola secara profesional. ”Apalagi di daerah mekanisme hibah masih berlaku,” ujar Joy-sapaan Anton Sanjoyo- saat dihubungi Jawa Pos, kemarin (24/9).
Joy mengatakan, saat ini tidak banyak klub sepakbola yang me-manage keuangan mereka secara profesional. Di liga 1, misalnya, sejauh ini baru manajemen Persib Bandung yang benar-benar sudah profesional. ”Tidak lebih dari lima yang profesional di Liga 1,” imbuhnya.
Joy menjelaskan, parameter manajemen klub profesional itu bisa dilihat dari bagaimana mereka mengelola pemasukan dan pengeluaran tim. Misal, manajemen mengurus pemasukan dari penjualan tiket dan merchandise dengan baik untuk membayar gaji pemain serta ofisial. Di dunia industri sepakbola, tim profesional cenderung lebih banyak dikelola pihak swasta.
Merujuk realita itu, peluang penyelenggara negara mengaburkan uang korupsi dengan menggunakan modus corporate social responsibility (CSR) atau sponsorship perusahaan sulit dihindari. Apalagi, belum ada aturan dari Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) yang mengatur batasan dan kewenangan penyelenggara negara dalam kepengurusan klub sepak bola.