MAKI Bakal Menggugat Kejagung Perihal Perpanjangan Kontrak JICT
Selain itu kontrak JICT tanpa ada izin konsesi pemerintah sehingga melanggar UU 17/2008 Pasal 82 ayat 4, pasal 344 ayat 2 dan pasal 345 ayat 2. Pelanggaran aturan lain yang paling terlihat yakni Pasal 8 ayat 1 dan pasal 10 ayat 1 Permen BUMN No PER-06/MBU/2011 dimana Hutchison ditunjuk langsung tanpa tender.
Ketiga, BPK juga telah mengungkapkan kasus JICT terindikasi merugikan negara Rp 4,08 triliun. BPK menemukan bahwa Pelindo II tidak memiliki owner estimate (HPS) sebagai acuan menilai penawaran dari Hutchison. Dasar perhitungan yang tak valid ini berdampak pada penerimaan Pelindo II yang lebih rendah dari nilai seharusnya.
Keempat, Terkait dugaan pemufakatan rekayasa keuangan, melalui surat No. HK 566/30/3/1/PI.II-15 Komisaris Pelindo II menugaskan perusahaan BS untuk mengevaluasi perhitungan bisnis perusahaan asing DB sebagai konsultan keuangan Pelindo II.
Hasilnya ada beberapa dugaan kejanggalan berdasar analisis yakni:
Pertama, perpanjangan kontrak JICT bukanlah penjualan saham, melainkan murni Kerja Sama Operasi (KSO). Hal ini terlihat jelas dari periode kerjasama yang akan berakhir tahun 2039.
“Seharusnya jika penjualan saham, maka tidak ada batas waktu karena kepemilikan saham bersifat perpetuity (tidak mengenal mekanisme batas akhir),” ujar Boyamin.
Kedua, metode perbandingan total uang yang diterima Pelindo II berdasarkan perjanjian awal (1999-2019) dibandingkan perpanjangan kontrak yang dipercepat (2015-2039) bukanlah mekanisme perhitungan lazim untuk mengukur mana skema yang lebih baik.
Ketiga, perusahaan BS melakukan analisa keuangan dengan proyeksi arus kas yang telah dipersiapkan DB. Konsekuensinya beberapa potensi keuntungan tidak dapat dihitung karena keterbatasan data tersebut.