Menagih Janji Jokowi Soal Visi Poros Maritim Dunia
Oleh: drh. SlametBiaya logistik Indonesia pada 2020 masih mencapai 24 persen dari PDB, masih tertinggal dibandingkan negara-negara lain di ASEAN seperti Vietnam (15 persen), Thailand (13,2 persen), Malaysia (13 persen) dan Singapura (8,1 persen).
Menurut Indonesia Multimodal Transport Association (IMTA) pembangunan infrastruktur yang dibangun saat ini belum banyak dirasakan karena biaya pengiriman barang antar daerah masih melalui mekanisme yang panjang dan berbiaya mahal.
Persoalan akut besarnya biaya logistik tersebut menyebabkan permasalahan distribusi bahan baku antarwilayah menjadi tersendat.
Penulis mencontohkan lemahnya performa perikanan Indonesia secara umum karena masalah konektivitas logistik antarwilayah terbatas dan berbiaya tinggi menyebabkan bahan baku ikan untuk industri tepung ikan dan yang lainnya masih lebih mahal daripada impor.
Hal itu terungkap saat penulis mengikuti rapat dengar pendapat dengan asosiasi pengusaha perikanan nasional di Komisi IV DPR RI bahwa bahan baku sebagian produk perikanan masih diimpor untuk mengurangi biaya produksi.
Impor komoditas perikanan setiap tahunnya mempunyai tren yang meningkat. Pada kuartal I tahun 2021 saja impor produk perikanan mencapai 42.079 ton, dengan nilai US$65,34 juta atau sekitar Rp942,2 miliar (kurs Rp14.420 per dolar AS) pada periode Januari-Februari 2021.
Impor didominasi oleh komoditas tepung ikan dengan volume impor sebesar 24.465 ton atau setara 58,1 persen dari total ekspor. Nilainya sebesar US$16,94 juta. Untuk makarel, selama dua bulan terakhir sebanyak 5.844 ton diimpor dengan nilai transaksi sebesar US$8,07 juta.
Lalu, 2.300 ton tuna-cakalang diimpor dengan nilai sebesar US$3,65 juta. Secara sederhana konektivitas logistik akan menjadi sangat penting ketika stok perikanan yang tinggi di wilayah timur Indonesia (lumbung ikan nasional) menjadi tidak bermanfaat karena keterbatasan pasar.