Close Banner Apps JPNN.com
JPNN.com App
Aplikasi Berita Terbaru dan Terpopuler
Dapatkan di Play Store atau Apps Store
Download Apps JPNN.com

Menyelamatkan Wajah Kumuh Jakarta

OLEH: ALFRED NABAL

Senin, 14 Oktober 2019 – 02:45 WIB
Menyelamatkan Wajah Kumuh Jakarta - JPNN.COM
Alfred Nabal. Foto: Dokpri for JPNN.com

Namun, manfaat kesejahteraan ekonomi bagi masyarakat ini menjadi terhambat karena pengelolaan faktor-faktor kepadatan (congestion forces) tidak dilakukan secara baik. Migrasi masuk ke daerah perkotaan telah meningkatkan kepadatan penduduk dalam suatu kawasan permukiman. Kegagalan dalam mengelola congestion forces ini melahirkan permukiman-permukiman kumuh dan perumahan yang terlalu padat. Dampak lebih besarnya adalah perkembangan kota menjadi tidak terkendali (urban sprawl).

Jakarta merupakan kawasan metro multi-distrik yang separuh wajahnya menampilkan kekumuhan. Setiap tahun, lebih dari 70 ribu orang bermigrasi ke Jakarta untuk melanjutkan hidupnya. Kepadatan penduduk Jakarta saat ini 15.663 jiwa per kilometer persegi. Jakarta yang terus dibombardir oleh migrasi memiliki keterbatasan lahan untuk dapat menampung secara layak para pendatang dari daerah ini. Bagi sebagian pendatang yang mampu untuk survive karena keahlian yang dimilikinya, Jakarta menjadi tempat yang dapat meningkatkan kesejahteraan ekonominya. Tetapi, bagi sebagian yang tidak mampu untuk survive, akan berpotensi menciptakan masalah dengan menjamurnya permukiman kumuh.

Kegagalan mengelola congestion forces di Jakarta telah melahirkan kawasan-kawasan kumuh. Survey pada tahun 2015 menemukan satu hal lain yang menyumbang kekumuhan Jakarta, yaitu kekurangan perumahan layak huni yang terjangkau dan kurangnya akses yang memadai untuk pembiayaan kredit perumahan menjadi penyebab menjamurnya kawasan kumuh di Jakarta.

Paradigma Kota Industri

Jauh sebelum Jakarta menampilkan wajah kumuhnya saat ini, seorang filsuf sosialis asal Jerman, Friedrich Engels telah menguraikan fakta kota-kota di Inggris yang dipenuhi dengan kawasan-kawasan kumuh. Engels dalam tulisannya “The Great Towns” pada tahun 1844, menunjukkan bagaimana revolusi industri pertama mempengaruhi transformasi kota Manchester, London, Brimingham, dan Leeds yang mengorbankan human nature. Kengerian urbanisme industri di Inggris mengubah bentuk fisik kota-kota dan memperburuk kualitas hidup masyarakat (pekerja).

Perubahan bentuk fisik kota-kota di Inggris ketika itu terjadi melalui pemisahan secara tajam bagian-bagian kota antara para pekerja dengan golongan menengah ke atas, yaitu kaum borjuis-kapitalis. Para pekerja menghuni pada bagian dalam kota, dekat dengan kawasan industri mereka bekerja. Sementara, golongan menengah ke atas menghuni bagian luar kota. Permukiman yang dihuni oleh para pekerja menampilkan kekacauan rumah yang tidak terencana, bersesak-sesakkan, dan lingkungannya kotor. Kontras dengan kawasan yang dihuni golongan menengah ke atas. Kondisi demikian mempengaruhi kualitas hidup para pekerja di Inggris. Polusi udara, air kotor, dan bangunan kumuh menurunkan kesehatan para pekerja. Banyak yang meninggal karena kebutuhan-kebutuhan pokok mereka tidak terpenuhi.

Apa yang ditunjukkan Engels sebenarnya juga menjadi fenomena umum kota-kota di Eropa dan Amerika Serikat pada abad ke 19 dan awal abad ke 20. Seorang sosiolog dan perencana kota asal Amerika Serikat, Lewis Mumford mengkritik bagaimana kota-kota di Eropa dan Amerika Serikat hanya melayani kepentingan ekonomi, lalu mengabaikan nilai-nilai spiritual komunitas manusia dan relasi dengan lingkungan alam. Dalam tulisannya “What is a City?” di tahun 1937, dia secara konsisten menyatakan, desain fisik dan fungsi ekonomi sebuah kota harus melayani fungsi kota sebagai komunitas manusia dan relasinya dengan lingkungan (fungsi sosial kota). Kota dipandang sebagai teater aksi sosial yang menekankan pentingnya peran aktor secara maksimal. Panggung dengan segala pernak-perniknya mendukung aktor untuk memerankan aksinya.

Baik Engels maupun Mumford menolak paradigma kota yang berbasis pada revolusi industri. Dasar argumentasi Engels pada pemisahan kelas borjuis-kapitalis dengan kelas pekerja, sehingga kota menjadi medium penindasan secara struktural oleh kaum borjuis-kapitalis terhadap kaum pekerja. Sementara, kritik Mumford terhadap paradigma kota industri ini ditujukan kepada orientasi ekonomi sebuah kota telah mengabaikan fungsi sosial yang sebenarnya paling utama. Kepentingan ekonomi/bisnis ini menjadikan lingkungan fisik perkotaan tidak teratur dan tidak koheren karena mengabaikan batasan-batasan ukuran kota. Munculnya kawasan-kawasan kumuh menyebabkan fungsi sosial kota menjadi kacau.

Pemerintah perlu untuk mengintervensi iklim investasi perumahan di Jakarta agar tidak mengurangi beban masyarakat untuk mendapatkan hunian yang layak.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

BERITA LAINNYA
X Close