Menyelamatkan Wajah Kumuh Jakarta
OLEH: ALFRED NABALProblematika kekumuhan Jakarta hari ini adalah konsekuensi atas paradigma kota industri yang dimilikinya. Kengerian urbanisme industri yang dipaparkan Engels di Inggris pada tahun 1844 terjadi juga di Jakarta hari ini. Kawasan-kawasan kumuh yang menutupi hampir separuh Jakarta adalah dampak orientasi ekonomi/bisnis. Kekumuhan ini seolah hal lumrah demi mewujudkan keuntungan ekonomi yang besar. Komunitas manusia dan relasinya dengan lingkungan (fungsi sosial) sebagai keutamaan kota dalam pandangan Mumford, menjadi tidak berarti di hadapan fungsi ekonomi Jakarta. Hal inilah yang menjadi kegagalan kota-kota masa lalu di Eropa dan Amerika, dan Jakarta mengulanginya saat ini.
Menyelamatkan Jakarta
Jakarta membutuhkan suatu langkah radikal untuk menyelamatkan wajah kumuh yang dimilikinya. Langkah ini tidak saja terbatas pada tataran teknis/kebijakan, melainkan dimulai dari paradigma pembangunan kota. Paradigma kota industri yang mementingkan fungsi ekonomi/bisnis harus diganti dengan paradigma kota sebagai komunitas manusia yang membutuhkan kenyamanan relasi dengan lingkungannya, dalam bahasa Mumford sebagai teater aksi sosial. Paradigma kota sebagai teater aksi sosial akan memungkinkan Jakarta menjadi tempat yang baik dalam melayani kehidupan komunitas manusia (masyarakatnya). Fungsi ekonomi dan penataan fisik kota menopang fungsi sosial ini.
Implikasi perubahan paradigma ini adalah adanya pembatasan ukuran suatu kota/kawasan permukiman. Kota Jakarta akan menjalankan fungsi sosialnya secara efektif apabila ukuran kepadatan dan luas kawasannya dibatasi. Pembatasan yang dimaksud bukanlah pembatasan pertumbuhan populasi melalui kelahiran dan migrasi, tetapi upaya perencana kota dan pengambil kebijakan untuk melipatgandakan jumlah pusat-pusat aktivitas masyarakat. Perencanaan dan kebijakan ini disebut dengan kota berinti ganda. Pola pengembangan kota seperti ini umum terjadi di Amerika dan Eropa. Apa yang dulunya dianggap mustahil dilakukan, sekarang kota-kota di sana telah berhasil mengurangi permukiman kumuh dengan sangat signifikan.
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI Jakarta sejatinya telah memuat skema pengembangan kota berinti ganda. Daerah Gambir merupakan pusat utama, kemudian didukung oleh pusat-pusat ke dua sebagai pusat wilayah dan pusat pelayanan lokal. Keberadaan pusat-pusat ini dalam paradigma kota sebagai fungsi sosial harus melayani komunitas manusia yang bermukim di sekitarnya. Namun, hal ini kontras dengan yang terjadi di lapangan. Permukiman penduduk tidak mengikuti pusat-pusat kegiatan. Permukiman liar terjadi di bantaran-bantaran sungai di DKI Jakarta, seolah-olah dibiarkan muncul dan berkembang.
Pengelolaan congestion force Jakarta harus mengikuti perubahan paradigma kota sebagai fungsi sosial. Maka, pemerintah perlu untuk mengintervensi iklim investasi perumahan di Jakarta, agar tidak mengurangi beban masyarakat untuk mendapatkan hunian yang layak. Selain itu, kebijakan untuk tidak membatasi arus migrasi masuk ke Jakarta sudah tepat dilakukan oleh gubernur Anies, karena bagaimana pun di alam demokrasi, setiap orang memiliki hak yang sama untuk mencari dan mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Namun, kebebasan ini perlu diadministrasikan secara baik dan menata lingkungan fisik Jakarta sesuai dengan perencanaan tata ruang dan wilayahnya.
Langkah ini perlu ditopang kuat secara kelembagaan pemerintah. Di samping itu, menyelamatkan wajah kumuh Jakarta membutuhkan political will seorang gubernur, sejauh mana dia berkomitmen untuk menata Jakarta sesuai dengan perencanaan kotanya. Setelah komitmen pemimpinan dan perkuatan kelembagaan, tantangan selanjutnya adalah mengubah karakter masyarakat yang dipengaruhi oleh paradigma lama bagaimana sebuah kota bertumbuh. Dibutuhkan kerjasama multipihak untuk mendorong perubahan paradigma ini, sehingga dapat membentuk karakter baru masyarakat. Jika semua ini berjalan baik, agenda reforma agraria di Jakarta menjadi langkah penting selanjutnya untuk menyelamatkan wajah kumuh Jakarta hari ini.(***)
Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Kajian Pengembangan Perkotaan Universitas Indonesia dan Ketua Lembaga Kajian Isu Pengurus Pusat PMKRI