Merah Putih Diambil dari Reruntuhan, Dicuci, Lantas Berkibar
Sejak gempa 7 skala Richter mengguncang Lombok pada 29 Juli lalu, Murdan dan warga Lingsar lain harus hidup di tenda-tenda pengungsian. Berjejalan dengan pakaian yang ditumpuk sembarangan, selimut, televisi, serta kipas angin.
Sebab, rumah mayoritas warga rusak parah. Kalaupun masih ada yang berdiri, si pemilik takut menghuninya. Sebab, siapa yang bakal menjamin gempa tak akan datang lagi.
Hingga kemarin, sudah tercatat 698 gempa susulan dengan kekuatan bervariasi. Sepekan setelah gempa 7 SR, misalnya, lindu dengan kekuatan 6,2 SR datang lagi.
Murdan tak tahu sampai kapan akan tinggal di tenda itu. Penghasilannya pas-pasan sebagai buruh. Tidak akan cukup memperbaiki rumah dalam waktu singkat.
Tidak hanya soal rumah, Murdan juga cukup dipusingkan dengan ekonomi keluarga yang mandek pascagempa. ’’Saya belum tahu. Mudah-mudahan ada bantuan,’’ ujar bapak dua anak itu dengan nada pasrah.
Semalam sebelumnya (15/8), hujan mengguyur Lingsar. Air hujan merembes masuk ke dalam tenda. Karpet dan tikar pun basah.
Kalau malam, dingin pun terasa menusuk tulang. Apalagi, Lingsar dikelilingi perkebunan dan sawah nan hijau.
Bagi Murdan, juga Tuardi, tetangganya yang berada di tempat pengungsian yang sama, Merah Putih menghadirkan spirit kepahlawanan. ’’Pahlawan menghadapi cobaan hidup mahaberat saat berjuang melawan penjajah. Bendera ini sebagai bentuk penghormatan kami,’’ ujar Tuardi.