Merasa Jadi Korban, Irjen Napoleon Singgung Kasus Djoko Tjandra, Citra Polri, hingga Hasrat Gibah
"Masifnya pergunjingan publik akibat sinisme terhadap kekuasaan, yang telah menggeneralisasi setiap simbolnya sebagai pelampiasan hasrat gibah, sehingga memicu malapraktik penegakan hukum atas nama mempertahankan keluhuran maruah institusi," ujar Napoleon.
Napoleon menilai semua persoalan ini berawal ketika Djoko Tjandra masuk ke Indonesia pada 5 Juni 2020. Kedatangan itu, berdampak pada maraknya pemberitaan secara masif.
"Kemudian disambut oleh pemberitaan di media massa secara masif dan berskala nasional, sejak pertengahan Juni 2020, yang menuding bahwa pemerintah Indonesia, terutama penegak hukum terkait telah kecolongan," ungkapnya.
Hal ini, kata Napoleon, semakin diperparah dengan munculnya foto yang memperlihatkan surat keterangan bebas Covid-19 dengan nama Brigjen Prasetijo Utomo, Djoko Tjandra, dan Anita Kolopaking. Surat itupun tertera tanda tangan dari Pusdokes Polri.
Kepercayaan publik atas institusi Polri pun semakin menurun. Sebab, ada anggapan jika Polri merupakan biang keladi rentetan perkara Djoko Tjandra.
"Telah menggulirkan tudingan publik kepada Polri bahwa yang dianggap sebagai biang keladi tercorengnya kewibawaan pemerintah akibat kelemahan aparat hukum negara," pungkasnya.
Sebelumnya JPU menuntut agar Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan hukuman 3 tahun pidana penjara dan denda Rp 100 juta subsider enam bulan kurungan terhadap Irjen Napoleon Bonaparte.
Jaksa meyakini Napoleon menerima suap dari terpidana perkara korupsi cessie Bank Bali Djoko Tjandra. Suap tersebut untuk membantu proses penghapusan nama Djoko Tjandra dari daftar pencarian orang (DPO) di Direktorat Imigrasi. (tan/jpnn)
Jangan Lewatkan Video Terbaru: