Merdeka dari Kesalahpahaman
Oleh Ahmad Doli Kurnia Tandjung*jpnn.com - Terus Melaju untuk Indonesia Maju. Itulah tema resmi peringatan HUT ke-78 Kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun ini. Sebuah narasi positif dan optimistis untuk membawa bangsa ini melangkah maju sejajar dengan bangsa-bangsa lain.
Sejak merdeka, bangsa ini telah meraih sejumlah kemajuan, meski tentu saja selalu ada pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh setiap pemimpin pada masanya masing-masing. Bagaimanapun pembangunan bangsa merupakan never-ending goals yang harus terus berlanjut.
Momen peringatan Kemerdekaan RI tidak cukup sekadar dimaknai dengan upacara bendera, lomba agustusan, maupun pesta. Lebih dari itu, kita membutuhkan perenungan mendalam untuk mengambil pelajaran dari masa lalu, lalu menjadikannya best practices bagi masa depan kita.
Salah satu isu yang mengemuka dalam beberapa tahun terakhir ialah terkait kesalahpahaman kita dalam memisahkan antara 'politik praktis' dengan 'fakta sosial'. Sering kali keduanya bercampur dalam adonan yang tidak pas. Hasilnya ialah kohesi sosial bangsa merenggang, bahkan terbelah sejak Pemilu 2014.
Fenomena framing atau stereotip aneh seperti cebong, kampret, dan kini kadrun merupakan bentuk mengendurnya tali ikatan sosial kita. Pemilu dan pilpres menyebabkan masyarakat menjadi korban dari tarik-menarik yang terjadi di level elite.
Ironisnya, ketika para elite di atas sudah saling berpelukan, bahkan bergabung dalam koalisi yang sama, masyarakat di bawah masih terbelah. Inilah yang harus kita sembuhkan, luka-luka akibat political game yang hanya sesaat.
Akibat jangka panjangnya ialah kerap muncul kesalahpahaman, kecurigaan antarkelompok. Salah satunya seperti islamofobia -suatu anomali di negara kita, negara berpenduduk mayoritas muslim.
Masih Rendah
Mengapa hal itu terjadi? Ada data menaik yang terkait dengan minat baca anak-anak muda terhadap sejarah yang rendah.