Merdeka dari Kesalahpahaman
Oleh Ahmad Doli Kurnia Tandjung*Survei The Programme for International Student Assessment (PISA) 2018 menempatkan Indonesia berada di posisi ke-74 dari 79 negara yang disurvei.
Tentu rate itu tidak ideal, sehingga harapan ‘melaju’ untuk Indonesia Maju terasa penuh dengan hambatan. Hal itu tidak hanya terjadi pada literasi umum, pun demikian pada literasi digital yang menunjukkan kita masih terendah di level ASEAN.
Akibatnya, netizen Indonesia tahun lalu mendapat predikat sebagai pengguna internet paling tidak sopan se-Asia Tenggara (Digital Civility Index / DCI, Microsoft).
Keengganan membaca dan melakukan riset sebelum mengeluarkan statement mengakibatkan hate speech dan hoaks menjadi makanan kita sehari-hari. Dalam jangka panjang, fenomena ini akan menghasilkan tumbuhnya stereotype seperti di atas.
Berbicara tentang islamofobia, hal tersebut tidak relevan bila melihat rekam jejak umat Islam dalam perjuangan kemerdekaan. Tentu saja umat Islam di Indonesia berjuang bersama pejuang dari suku bangsa, etnik, dan penganut agama lain yang ada di negeri kita tercinta.
Melihat fakta historis dan sosial tersebut, para founding fathers secara sadar memasukkan unsur-unsur agama dalam konstitusi. Sila pertama Pancasila, “Ketuhanan yang Maha Esa” secara tegas mengirim pesan kepada dunia bahwa Indonesia adalah “negara beragama”.
Indonesia adalah negara yang menempatkan Tuhan (agama) sebagai panduan etik dalam menjalankan relasinya dengan masyarakat.
Meski demikian, Indonesia tidak mendesain dirinya sebagai 'negara agama' tertentu, karena sejarah awal Nusantara memanglah heterogen. Salah satunya ialah negara ini telah lama dihuni oleh sekian banyak penganut agama, suku, dan budaya yang berbeda.