Meski Andalkan Investor, Proyek Bukit Algoritma Tetap Berisiko Mengganggu APBN
Mantan Sekretaris Utama (Sestama) Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) ini mengingatkan banyak negara, termasuk di dalam Amerika Serikat sendiri, yang sudah berusaha menjiplak kawasan silicon valley tersebut tetapi gagal.
"Pembangunan fisik itu soal mudah. Tapi jujur saja, untuk membangun ekosistem seperti yang kita kenal dengan silicon valley itu tidak mudah," tutur Syahrial.
"Dan yang pertama kali harus kita pertanyakan untuk membuat sillicon valley yang baru ini, apakah lahan seluas 800 hektare ini dari sisi peruntukan tata ruangnya sudah aman atau belum?"
Pertanyaan ini penting mengingat Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi Jawa Barat, Ferry Sofwan Arif, mengaku pihaknya belum bertemu apalagi membicarakan dengan pihak manapun mengenai proyek tersebut.
"Untuk aktivitas seluas itu kan membutuhkan lahan, dan perusahaan harus melihat dulu lahannya seperti apa. Seharusnya datang ke Bappeda daerah dan provinsi untuk peruntukan lahan," ujarnya seperti yang dilansir CNN Indonesia.
Kalau mandeg, siapa yang menanggung?
Pengamat ekonomi dari INDEF, Bhima Yudhistira mengingatkan kemungkinan mangkraknya proyek Bukit Algoritma ini, berdasarkan beberapa kritik soal ekosistem sains dan inovasi di Indonesia yang tidak memadai untuk menciptakan 'the next silicon valley'.
Ia menambahkan, penyebab proyek-proyek sebelumnya, baik milik pemerintah atau swasta, yang mangkrak atau bermasalah terletak pada kesalahan perencanaan, khususnya pada uji kelayakan atau 'feasibility studies' yang tidak layak tapi dipaksakan.
Bhima mencontohkan, proyek Stadion Jakabaring dan proyek LRT di Palembang, dan sebagian besar proyek yang dipersiapkan untuk Asian Games 2018.