Modernisasi Militer China Jadi Tantangan bagi Indonesia dan Asia Tenggara
jpnn.com, JAKARTA - Modernisasi Tentara Pembebasan Rakyat (TPR) China menuju kekuatan militer kelas dunia dalam waktu singkat menjadi perhatian serius bagi Indonesia, dan negara-negara Asia Tenggara.
Peningkatan kemampuan militer ini bersamaan dengan sikap China yang cenderung berkonfrontasi dengan negara-negara Barat, mengindikasikan potensi konflik di kawasan Laut China Selatan (LCS) jika ketegangan semakin memuncak.
Ketegangan ini juga berpotensi memperburuk hubungan China dengan negara-negara Asia Tenggara yang mengklaim wilayah yang sama, meskipun pengakuan tersebut bertentangan dengan hukum laut internasional (UNCLOS).
Dalam diskusi publik yang diadakan oleh Forum Sinologi Indonesia (FSI) dan Paramadina Public Policy Institute (PPPI) di Jakarta, Ketua FSI Johanes Herlijanto, Ph.D, mengungkapkan pentingnya memahami dampak dari modernisasi militer China.
Johanes menyoroti perubahan target modernisasi angkatan bersenjata China, yang awalnya ditetapkan pada 2035, kini dipercepat menjadi 2027.
"Ini menunjukkan ambisi China untuk memperkuat posisi militer dan politiknya di panggung global," ujarnya.
Diskusi ini juga dihadiri oleh pemerhati keamanan regional Brigadir Jenderal TNI (Purn) Victor P. Tobing, yang menjelaskan bahwa upaya modernisasi militer China bukanlah hal baru. Namun, makin intensif sejak Xi Jinping mengambil alih kekuasaan.
Victor mencatat bahwa China telah membangun pangkalan militer di Djibouti dan menjadikan wilayah LCS sebagai rantai pertahanan pertama. Dengan tiga kapal induk yang dimiliki saat ini, China semakin siap untuk menguasai wilayah strategis tersebut, yang dapat memicu ketegangan lebih lanjut di kawasan.