Close Banner Apps JPNN.com
JPNN.com App
Aplikasi Berita Terbaru dan Terpopuler
Dapatkan di Play Store atau Apps Store
Download Apps JPNN.com

Negara Federal Solusi: Kucing Lebih Diterima Istana Ketimbang Orang Kawasan Timur

Oleh: Dipl.-Oek. Engelina Pattiasina

Kamis, 24 Oktober 2024 – 17:50 WIB
Negara Federal Solusi: Kucing Lebih Diterima Istana Ketimbang Orang Kawasan Timur - JPNN.COM
Dipl.-Oek. Engelina Pattiasina. Foto: dok.pribadi for JPNN.com

Kalau ditelusuri jauh ke belakang, pelopor bentuk federal di Hindia Belanda bukan datang dari kawasan timur. Tetapi, ide itu justru dipelopori Organisasi Budi Otomo yang pada awalnya menekankan nasionalisme Jawa. Para penggagas Budi Otomo menyadari bahaya bagi budaya dan identitas Jawa.

Pada tahun 1917, Komite Nasionalisme Jawa, yang dibentuk R.M.S. Soerio Koesoemo, Satiman dan Abdul Rachman menegaskan, Jawa mencakup seluruh penduduk asli Pulau Jawa, termasuk Sunda dan Madura.

Abdul Rachman yang berasal dari Jawa Barat dalam sebuah brosur pada 1917 mengungkapkan, Budi Oetomo tidak ingin perpecahan, dia hanya ingin menjaga individualitas Jawa. Setiap orang mempunyai budayanya sendiri, yang ingin mereka lestarikan dan tidak dapat kita paksakan pada orang lain, betapapun kita menginginkannya.

Dimana masyarakat Jawa mempunyai kepentingan yang sama dengan suku lain, maka dengan senang hati mereka akan bahu membahu, namun untuk pertahanan dan pengembangan budaya sendiri dan harus mengandalkan kekuatan sendiri karena tidak bisa berharap tetangga akan memberi uluran tangan. Sebab, tetangga juga harus menjaga budayanya sendiri. Hindia bukan hanya satu negara, bukan satu bangsa dengan budaya yang sama.

Perdebatan mengenai federasi dan kesatuan sudah berlangsung lama, jauh sebelum Van Mook dituduh mendirikan negara boneka. Kalau ditelusuri sejak 1916 sampai pada diskusi reformasi tata pemerintahan yang dipelopori Volksraad tahun 1918, wacana federasi dan kesatuan sudah menjadi objek perdebatan. Dimana pihak yang pro kesatuan lebih kepada ketakutan kalau Belanda akan kehilangan kendali di nusantara, jika memilih bentuk federasi.

Dalam brosur Hendrikus Colijn tahun 1918 berjudul “Staatkundige Hervormingen in Nederlandsch Indie”. Colijn merupakan militer, politisi yang bertugas di Hindia Belanda selama 16 tahun. Di kemudian hari, dia menjadi PM Belanda. Dalam tulisannya di tahun 1918, menginginkan pembentukan provinsi-provinsi di berbagai pulau yang disertai dengan badan seperti Volksraad (parlemen). Seiring perjalanan waktu provinsi-provinsi itu akan menjadi negara mandiri yang berada dalam satu negara federasi yang memiliki otoritas pusat.

Dalam sistem negara yang berkembang ke arah federalis, otoritas pusat ini akan mampu mempertahankan pentingnya moral sebagai penengah yang tidak berkepentingan antara konflik kepentingan ekonomi nasional yang semakin kuat antara masing-masing anggota federasi untuk waktu yang lama.

Colijn memandang ada keuntungan bagi Hindia Belanda (Indonesia) dalam bentuk federal, antara lain, dalam konteks federatif perbedaan laju pembangunan di berbagai bidang dapat diperhitungkan dengan cara yang sehat. Selain itu, perkembangan alamiah Volksraad Pusat (parlemen) dalam negara kesatuan tentu berarti bahwa jumlah penduduk terbanyak akan mendominasi penduduk lainnya, yaitu jumlah penduduk yang terbanyak di Pulau Jawa terhadap wilayah di luar Pulau Jawa. Sebab, penduduk Jawa akan menjadi mayoritas di Hindia Belanda (Indonesia).

Engelina Pattiasina mengatakan, upaya mengatasi ketimpangan atau disparitas kawasan barat dan timur seolah menemui jalan buntu.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News