Omnibus Law dan Demokrasi Deliberatif
Salah satu keadaan yang menciptakan kondisi hiper-regulasi adalah keinginan untuk mengatur semua hal dalam bentuk undang-undang. Seakan-akan undang-undang menjadi obat mujarab untuk menyelesaikan semua persoalan yang ada. Padahal menurut John Locke, undang-undang yang dibuat oleh kekuasaan legislatif merupakan undang-undang yang dapat memberikan kebaikan bagi masyarakat luas (common good) dan memuat unsur-unsur kepentingan umum. Namun dalam perkembangannya, sistem undang-undang saat ini tidak jelas batasan materi yang harus diatur dalam undang-undang. Seringkali hal yang paling teknis pun dipaksakan untuk diatur dalam bentuk undang-undang. Padahal cukup diatur lewat peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang.
Kekeliruan paradigma yang menganggap undang-undang sebagai solusi semua masalah juga menuai problem yang cukup parah, yakni munculnya pandangan bahwa kuantitas undang-undang dianggap sebagai indikator kesuksesan kinerja fungsi legislasi. Bukan pada isi atau muatan undang-undang yang dihasilkan serta implementasi atau pengawasan regulasi.
Kualitas regulasi seperti ketaatan pada asas dan pemuatan kepentingan umum sering kali diabaikan dalam proses pembuatan undang-undang. Hal ini kemudian turut memberikan kontribusi pada situasi hiper-regulasi yang terjadi saat ini. Akibatnya, peraturan perundang-undangan menjadi kendala utama dalam pelaksanaan pembangunan nasional. Bahkan seringkali peraturan perundang-undangan justru menjadi penghambat dalam berbagai aspek interaksi antara sistem bernegara dan bermasyarakat.
Hal ini terlihat dari Indeks Kualitas Regulasi Indonesia yang mendapatkan skor negatif yaitu berada di level -0,11 poin pada 2017. Indeks ini mengukur kemampuan pemerintah suatu negara dalam merumuskan regulasi untuk pengembangan usaha sektor swasta. Begitu juga dengan hasil riset PricewaterhouseCoopers (PwC) 2019 menunjukkan bahwa 35 persen pandangan para Chief Executive Officer (CEO) perusahaan secara global menyatakan regulasi berlebih dan ketidakpastian kebijakan menjadi momok ancaman dalam berbisnis di Indonesia.
Dengan kata lain, regulasi yang terlalu banyak dan ketidakpastian kebijakan menjadi ancaman teratas untuk masuknya investasi di Indonesia. Fenomena hiper-regulasi ini kemudian berdampak pada mandeknya iklim kemudahan berbisnis di Indonesia. Bank Dunia dalam laporannya yang bertajuk Ease of Doing Business 2020 menyebutkan peringkat kemudahan berbisnis Indonesia tidak berubah di posisi 73 dari 190 negara. Tingginya biaya dan waktu mengurus perizinan menjadi sorotan utama.
World Economic Forum (WEF) dalam World Competitiveness Report 2018 mengungkapkan butuh waktu sekitar 25 hari untuk mengurus perizinan investasi di Indonesia. Sementara lama pengurusan izin di Malaysia dan Vietnam relatif lebih singkat dibandingkan di Indonesia. Belum lagi proses yang harus dilalui untuk mendapatkan izin di Indonesia ada 11 prosedur.
Jumlah tersebut lebih banyak dari rata-rata negara Asia Tenggara lainnya yang hanya 8,6 prosedur. Hal yang sama juga diungkapkan oleh hasil survei Bank Dunia yang menunjukkan proses perizinan konstruksi di Indonesia membutuhkan waktu yang lama, bisa mencapai 191 hari. Angka tersebut merupakan yang terlama kedua di ASEAN. Perizinan konstruksi di Indonesia harus melewati sebanyak rata-rata 18 prosedur dan memakan biaya hingga 4,8 persen dari nilai bangunan.
Di tengah kondisi hiper-regulasi inilah wajar apabila Bank Dunia dalam laporannya yang berjudul berjudul “Global Economic Risk and Implications for Indonesia” sangat spesifik menyebutkan bahwa Indonesia dinilai negara yang berisiko, rumit, dan tak kompetitif untuk investasi. Hal ini disebabkan karema regulasi yang tak terprediksi, inkonsisten, dan saling bertentangan. Kondisi ini jika dibiarkan sangat berbahaya bagi perekonomian nasional. Investasi yang masuk pun berjalan lamban, pertumbuhan ekonomi nasional terancam mengalami stagnasi.