Pakar Hukum Bilang Begini Soal Kemungkinan Putusan Hakim Pada Praperadilan Firli
Prof Agus lantas menyebut Pasal 183 KUHAP yang berbunyi ‘hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya’.
Menurut Prof Agus, subtansi keterangan saksi yang disampaikan terkait adanya suatu peristiwa pidana selain mempunyai kualitas, juga harus relevan terkait tindak pidana yang dipersangkakan.
“Dapat disimpulkan, untuk dapat menetapkan seseorang menjadi tersangka atas perbuatan yang diduga dilakukan harus terpenuhi syarat formal atau syarat kuantitas alat bukti sebagaimana dimaksud pada Pasal 184 ayat (1) KUHAP," ucapnya.
Kemudian, juga harus memenuhi subtansi (materiel) alat bukti sesuai dengan kualitas masing-masing alat bukti dan masing-masing alat bukti yang memenuhi kualitas tersebut harus juga relevan dengan dengan mens rea maupun actus rea dari calon tersangka.
“Dengan demikian, apabila penyidik tidak mampu membuktikan unsur-unsur delik yang disangkakan dan tidak dapat memenuhi ketiga syarat secara kumulatif sebagai alat bukti, maka seseorang tidak dapat disangkakan telah melakukan tindak pidana karena unsur-unsur deliknya tidak terpenuhi,” katanya.
Menurut Prof Agus, ketika hakim praperadilan dalam putusannya menyatakan penetapan tersangka tidak sah atau penyidikannya tidak sah, maka termohon wajib melaksanakan putusan tersebut.
"Kemudian atas dasar putusan tersebut menghentikan proses penyidikan dalam perkara aquo dan oleh karenanya mempunyai kewajiban menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3),” kata Prof Agus. (gir/jpnn)
Yuk, Simak Juga Video ini!