Para Asosiasi Petani Tembakau Menolak Gagasan Revisi PP 109
Tekanan yang dialami pelaku IHT secara terus-menerus selama lima tahun terakhir sangat mempengaruhi petani tembakau maupun cengkeh Indonesia.
“Sejak 2015 hingga 2018 saja volume produksi terus mengalami penurunan. Penurunan ini tentunya berdampak langsung terhadap daya serap pabrikan atas hasil tani tembakau dari petani,” ucap Soeseno, Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI).
Dengan adanya kampanye anti rokok maka permintaan rokok turun menjadi 6 miliar batang per tahun. Jadi bila satu batang rokok isinya 1 gram tembakau, berarti ada 6.000 ton tembakau kering yang terancam tidak terserap IHT.
“Lalu kalau 1 hektare lahan petani menghasilkan 1 ton tembakau kering maka ada sekitar 6.000 hektare lahan tembakau yang hilang tidak terserap. Artinya tidak sedikit petani tembakau yang akan kehilangan mata pencahariannya. Sementara sampai dengan saat ini harga tembakau lebih tinggi dibandingkan harga komoditas lain di musim kemarau,” tegas Soeseno.
Saat ini Indonesia merupakan produsen cengkeh terbesar di dunia. Di dalam negeri cengkeh merupakan bahan pokok selain tembakau dalam memproduksi rokok kretek.
Kemenkes harusnya mempertimbangkan suara akar rumput, masyarakat yang langsung terdampak atas inisiatif ini.
“Sebaiknya Kemenkes mengevaluasi kembali apa yang menjadi tujuan utama dari revisi ini, dan mengkaji dampaknya terhadap semua lapisan masyarakat. Jangan hanya mengikuti agenda dan dorongan pihak asing yang mensyaratkan agar Kemenkes mengikuti rekomendasi FCTC," tegas Koordinator Komisi Liga Tembakau Zulvan Kurniawan.
"Agenda FCTC sudah sangat jelas yaitu mematikan industri rokok, ini artinya bagi Indonesia sama saja dengan membunuh sumber nafkah 6,1 juta pekerja dan lebih dari 20 juta anggota yang menjadi keluarga mereka," imbuh Zulvan.(chi/jpnn)