Pedang Bermata Dua: Industri Nikel yang Menguntungkan Tapi Juga Mengancam Kesehatan dan Lingkungan
Nikel digunakan dalam baterai kendaraan listrik untuk mencapai performa yang lebih baik dan jangkauan yang lebih panjang dengan bobot yang lebih rendah dibandingkan jenis baterai lainnya. Nikel juga menjadi sumber daya utama dalam transisi global ke kendaraan listrik.
Badan Energi Internasional (IEA) memperkirakan permintaan global akan logam tersebut akan tumbuh setidaknya 65 persen pada tahun 2030, dan kendaraan listrik serta penyimpanan baterai akan mengambil alih baja tahan karat sebagai pengguna akhir nikel terbesar pada tahun 2040.
Dewan Kendaraan Listrik memperkirakan 40 persen kendaraan listrik yang dijual di Australia tahun ini memiliki baterai berbahan kimia berbasis nikel.
Tesla, yang menjual lebih banyak mobil listrik di Australia dibandingkan pabrikan lain mana pun, menggunakan nikel Indonesia melalui perusahaan asal Tiongkok, Huayou Cobalt dan CNGR Advanced Material.
Perusahaan juga sudah mempertimbangkan untuk mendirikan pabrik produksi baterai sendiri di negara tersebut.
Produsen baterai termasuk LG Energy Solution dari Korea Selatan dan produsen mobil termasuk Ford, Toyota, Hyundai mengumumkan investasi senilai miliaran dolar di pabrik pengolahan nikel yang berbasis di Indonesia untuk mengamankan pasokan nikel seiring dengan peningkatan produksi kendaraan listrik.
Teknologi adalah kunci transformasi industri, namun risiko tetap ada
Pemrosesan pelindian asam bertekanan tinggi (HPAL) digunakan untuk mengekstraksi nikel kadar tinggi yang dibutuhkan oleh produsen aki mobil listrik dari bijih limonit, salah satu bijih kadar rendah yang melimpah di Indonesia.
Namun, pembuangan limbah dari pabrik HPAL masih menjadi isu yang diperdebatkan.