Peringati 66 Tahun ISKA, Luky A Yusgiantoro Ajak Kader untuk Merawat Martabat Manusia
Tantangan kaderisasi aktivis Katolik sering kali terjebak pada kondisi bergerak di mana-mana, tetapi tidak ke mana-mana.
Keterlibatan individu di organisasi Katolik tentunya baik adanya namun seringkali terjebak pada formalisme keanggotaan tanpa kemudian memberikan keunikan warna dalam gerakan.
ISKA sebagai sebuah organisasi yang mengedepankan kesarjanaan ataupun intelektualisme tentunya harus memiliki ciri khas yang berbeda.
Kesarjanaan inilah yang menjadi kunci pembeda diantara organisasi dan ormas katolik lainnya. Intelektual bukanlah berarti hanya terbatas kepada akademisi yang berada di kampus semata.
Merujuk pada filsuf Italia, Antonio Gramsci, Intelektual organik adalah individu atau kelompok yang secara aktif berkontribusi dalam pembentukan ide-ide dan pemahaman yang mendominasi dalam masyarakat.
Intelektual organik tidak hanya memiliki pengetahuan dan keterampilan secara akademis, tetapi juga menggunakan pengetahuan dan keterampilan tersebut untuk mempengaruhi dan membentuk masyarakat secara lebih luas.
Sejalan dengan pemikiran Gereja Katolik Indonesia, ISKA memandang bahwa penghargaan atas martabat manusia merupakan pintu masuk bagi terwujudnya manusia yang sungguh-sungguh secitra dengan Allah.
Martabat manusia dalam Konsili Vatikan II dipandang sebagai tiga standar manusia, yaitu Manusia yang berakal budi, Manusia yang memiliki hati Nurani, dan Manusia memiliki kehendak bebas (Gaudium et Spes art. 12).