PKS: Jangan Mempertaruhkan Pendidikan Bangsa Hanya Demi Segelintir Pasal di RUU Cipta Kerja
Fikri menambahkan, draf RUU Cipta Kerja buatan pemerintah telah melanggar kodrat kontitusi dengan mewajibkan institusi pendidikan mengurus izin berusaha sebagaimana tertuang dalam Pasal 68 aturan tersebut.
“Ketentuan ini memaksa institusi pendidikan berbasis masyarakat untuk punya izin usaha, alih-alih pemerintah seharusnya membantu mereka sebagai amanat konstitusi,” kata Fikri.
Menurutnya, yang menjadi perdebatan krusial salah satunya adalah kewajiban berusaha dalam draf RUU Cipta Kerja Pasal 68 Ayat 5, terkait ketentuan pada Pasal 62 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang diubah. Sehingga berbunyi "Penyelenggaraan satuan pendidikan formal dan nonformal yang diselenggarakan oleh masyarakat wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat."
Selain itu, ketentuan lain mengatur bagi mereka yang melanggar (tidak punya izin berusaha) akan dikenakan sanksi pidana kurungan maksimal 10 tahun dan denda Rp 1 miliar.
“Pasal ini menambah esensi pemaksaan secara hukum bahwa pesantren-pesantren, madrasah diniyah, serta pendidikan nonformal berbasis masyarakat lainnya harus punya izin usaha,” kritik Fikri.
Isu lain soal perombakan UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen di dalam RUU Cipta Kerja. Fikri mengecam pasal-pasal dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang diskriminatif terhadap guru dan dosen dalam negeri, dan sebaliknya sangat memihak kepada pengajar asing.
“Guru dan dosen lokal wajib sertifikasi, sedangkan pengajar asing diberi karpet merah. Ini benar-benar RUU Alien,” kata Fikri.
Dia juga mengritik sikap pemerintah di dalam pembahasan legislasi yang tidak konsisten terkait revisi UU Sisdiknas. “Kita seharusnya konsisten pada kesepakatan awal bahwa revisi UU Sisdiknas dibahas terpisah,” ujar dia.