RUU EBT Dikhawatirkan Lebih Berpihak Kepada Importir
jpnn.com, JAKARTA - Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Energi Baru Terbarukan (EBT) dikhawatirkan lebih berpihak kepada importir yang mengincar peluang hingga Rp 7.000 triliun atau setara APBN Indonesia 3,5 tahun.
Aneka dan rancangan aturan soal energi baru juga dikhawatirkan malah meningkatkan harga listrik.
Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan mengatakan peralihan sumber energi primer dari fosil ke sumber ramah lingkungan memang harus dilakukan. Akan tetapi, peralihan itu harus mempertimbangkan kondisi nasional.
“Saat ini, industri dalam negeri belum mampu memproduksi panel surya untuk PLTS, komponen PLTB (pembangkit listrik tenaga bayu), dan pembangkit EBT lain,” ujar Mamit di Jakarta, Kamis (15/7).
Seharusnya, dalam RUU EBT yang tengah dibahas di DPR ada upaya dan insentif untuk mendorong kemandirian nasional dalam produksi pembangkit EBT.
“Pemerintah harus mendorong penelitian dan juga riset sendiri sehingga bisa menghasilkan solar panel dengan harga yang lebih kompetitif. Kebutuhan solar panel ke depannya akan terus meningkat, jangan hanya terkesan memanjakan importir panel surya saja. Bagaimana kita harus bisa menciptakan kemandiri sektor energi. DPR harus memasukan komponen dalam negeri yang cukup besar terkait dengan PLTS maupun PLTB ini,” ujarnya.
Dia mengingatkan, potensi pasar pembangkit EBT bisa mencapai Rp 7.000 triliun hingga 2050. Pasar sebesar itu hanya akan dinikmati asing dan agennya di dalam negeri jika Indonesia tidak bisa mandiri dalam produksi pembangkit EBT.
Hal itu menunjukkan, aneka aturan dan rancangan aturan soal EBT lebih menekan pada aspek komersial. Padahal, transisi energi menuju EBT seharusnya menekankan pada pelestarian lingkungan.