Saat itu Bung Karno bilang ke Pak Edhi, 'Begini lho, Ed'
”Ini, menurut saya, ironis karena diorama-diorama itu hanya menonjolkan penguasaan pihak penguasa dengan mengecilkan lawan. Saya pernah tanyakan kepada beliau, apakah tertekan saat membuat diorama,” tutur Asvi.
Edhi, kenang sejarawan LIPI tersebut, tidak memberikan jawaban terus terang ketika itu. Dia hanya mengatakan, pada masa Orde Baru dirinya hanya kebagian yang kecil-kecil. Berbeda dengan di era kepemimpinan Bung Karno, ketika dia terlibat dalam pembangunan karya-karya besar.
Menurut Asvi, karya-karya Edhi pada era 1960-an memiliki muatan pesan kebangsaan yang tinggi. Patung Dirgantara, misalnya, dibuat, salah satunya, karena terinspirasi keberhasilan antariksawan Uni Soviet Yuri Gagarin terbang ke luar angkasa pada 1961.
Patung yang menggambarkan sosok lelaki berotot kekar dengan tangan menunjuk ke depan itu memiliki pesan agar generasi mendatang mampu terbang setinggi dan sejauh Yuri. Pembuatannya juga istimewa.
Dari sisi pendanaan, misalnya. Patung yang menghabiskan dana Rp 12 juta pada 1964 itu sempat mangkrak karena seretnya pembiayaan. Bung Karno, yang sedang berada dalam status tahanan politik setelah Gerakan 30 September 1965, akhirnya menitipkan sejumlah uang hasil penjualan mobil pribadi kepada almarhum. Meski tidak menutup seluruh pembiayaan, presiden pertama Indonesia tersebut ingin pembangunan patung itu tetap bisa berjalan dan selesai.
Dengan tekad bulat, almarhum dan timnya berusaha sekuat tenaga menyelesaikan pembangunan. Juga, tentu saja, pada akhirnya menyisakan utang pemerintah yang hingga saat ini tidak terbayar.
”Jangankan unsur korupsi, unsur proyek agar mendapat keuntungan saja tidak ada. Coba kalau sekarang, mana ada?” ujar Asvi.
Hilmar Farid, yang pernah membuat buku dan film dokumenter tentang tiga patung yang menjadi tetenger Jakarta, juga berkisah, Patung Pembebasan Irian Barat merupakan karya yang paling dikenang almarhum.