SEBETULNYA INI RAHASIA! Sihir Titiek Puspa
Hujan kian deras. Air mata Titiek pun menderas. Dia menangis sejadi-jadinya. "Petir menggelegar seperti menjawab teriakan saya," kenang Titiek sebagaimana dituturkan Alberthiene Endah.
Titiek masih memandang langit. Dia berteriak lagi. "Saya nggak takut! Saya nggak takut! Ayo, Tuhan, bunuh saya! Ini dada saya! Saya nggak takut!"
Petir kembali menggelegar. Puas mengumpat, dengan sisa-sisa kekuatan dia meneruskan perjalanan. Melewati kebun, tepi sungai dan merangkak di rel kereta.
"Saya merangkak di rel kereta karena tubuh saya tak mampu lagi berjalan. Saya menangis selama menyusuri bilah-bilah rel. Biarlah mati, pikir saya saat itu. Biar saja bila ada kereta lewat melumat tubuh saya," Titiek mengenang masa lalunya.
Titiek bahkan merangkak di rel yang melintas di atas Sungai Progo yang terkenal dengan arus liarnya. Bila tergelincir, batu-batu besar menanti di bawah. Akhirnya, dia sampai di kebun belakang rumah. Namun, kata Titiek, saat itu...
...hasrat saya untuk segera mati terus berkobar. Dengan kalap, seperti diganduli roh yang asing, mendadak saya menjadi beringas. Saya petiki buah-buah mentah yang ada di kebun itu. Buahnya macam-macam. Ada mangga, mengkudu, pepaya, jambu. Saya juga memetik petai cina dan macam-macam lagi.
Semua diangkut dengan tadah rok sekolahnya. Sesampai di belakang rumah, buah-buahan mentah itu ditarok dalam lesung. Dia petik lagi cabe rawit yang sedang berbuah banyak. Semua masuk lesung. Ditambah garam, dia mulai menumbuk.
Tumbukan itu dilahapnya sampai habis. "Rasanya pedas, pahit, asam, getir! Saya habiskan dengan harapan agar saya lebih cepat mati...dan blep! dunia gelap. Saya tak sadarkan diri."