Selain Garuda, BUMN Kodja Bahari Perlu Perombakan Direksi
jpnn.com, JAKARTA - Mantan Komisaris Utama PT Dok dan Perkapalan Kodja Bahari (PT DKB), Desi Albert Mamahit, mendukung penuh program bersih-bersih perusahaan negara yang dilakukan oleh Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir. Sebab, perusahaan yang bergerak di bidang galangan kapal ini selalu merugi setiap tahunnya.
“Harus ada perubahan besar-besaran di jajaran manajemen direksi,” ujar dia dalam keterangan tertulisnya, Jumat, 13 Desember 2019.
Jajaran Komisaris PT Dok & Perkapalan Kodja Bahari pun pernah melakukan investigasi mengenai kondisi perusahaan maupun proyek yang dikerjakan. Hasilnya, menurut Mamahit, ada temuan beberapa proyek tersendat. Seperti, proyek nasional (Alutsista TNI) milik Kementerian Pertahanan yaitu kapal angkut tank (AT-1) dengan nilai sebesar Rp 159,5 milyar dan pekerjaan kapal angkut tank (AT-2) senilai Rp 159,5 milyar. Nilai total pekerjaan 319 Milyar yang dipesan oleh Kementerian Pertahanan sejak tahun 2011.
Dalam kerja sama antara Kementerian Pertahanan dengan PT. Dok & Perkapalan Kodja Bahari dimulai pada tahun 2011, seharusnya proyek itu selesai dalam waktu 18 bulan pengerjaan. Namun, delapan tahun berjalan, pekerjaan itu tak jelas kelanjutannya.
PT Dok & Perkapalan Kodja Bahari yang sudah meneken sepuluh kali surat perpanjangan kontrak itu saat ini tengah mengajukan permohonan kembali untuk perpanjangan kerja sama dengan Kementerian Pertahanan. Tujuannya, agar target penyelesaian proyek bisa kembali mundur.
Belum lagi, proyek nasional kapal perintis untuk program tol laut milik Kementerian Perhubungan yang dimulai pada tahun 2015 juga tak selesai pengerjaanya. Proyek itu berupa 4 unit, 2 unit kapal perintis 2.000 GRT dikerjakan langsung oleh PT. DKB; 1 unit kapal perintis 2.000 GRT yang dikerjasamakan dengan perusahaan swasta; PT. Karakatau Shipyard; dan 1 unit 750 GRT juga dikerjakan langsung oleh PT. DKB.
Ada juga temuan tentang dari Badan Pemeriksa Keuangan tentang penggunaan dana penyertaan modal negara (PMN) yang diduga bermasalah. Selain digunakan untuk pembangunan serta perbaikan galangan kapal atau floating dock di Cirebon, Jawa Barat; Banjarmasin, Kalimantan Selatan; Palembang, Sumatera Selatan; Semarang, Jawa Tengah; PMN juga diduga digunakan tak sesuai dengan aturan. Yakni, untuk biaya operasional maupun gaji karyawan. Mamahit pun membenarkan adanya investigasi ini.
“Masih ada beberapa temuan lainnya,” ujar mantan Rektor Universitas Pertahanan Indonesia ini.